REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Polri pada Kamis (12/10), Polri diminta mempertimbangkan permintaan pemanggilan paksa suatu institusi. Permintaan tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo. "Sesuai undang-undang, pemanggilan paksa dapat dilakukan dengan bantuan Polri, untuk itu diminta Polri dapat mewujudkan itu," ujar Bambang, Kamis (12/10).
Menanggapi permintaan tersebut, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyampaikan, terdapat sejumlah kesulitan. Regulasi terkait pemanggilan paksa tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Namun, menurut Tito, belum ada hukum acara yang secara jelas mengatur pelaksanaannya. Sehingga, hal inii menimbulkan keragu-raguan dari Kepolisian.
"Apakah hukum acaranya menganut hukum acara KUHAP yang tidak mengenal itu atau bisa langsung dipraktikan," ujar Tito.
Namun, pernyataan Tito dibantah Anggota Komisi III, Agun Gunandjar Sudarsa. Menurut Agun, pemanggilan paksa yang diatur dalam UU MD3 tidak termasuk ranah hukum pidana dan perdata. Sehingga, tidak membutuhkan hukum acara untuk bertindak.
"Ini UU tata negara, bukan pidana atau perdata, di UU tertulisnya Kepolisian Republik Indonesia," ujar Agun.
Pasal pemanggilan paksa dalam UU MD3, kata Agun, sudah mengatur secara rinci mekanisme penjemputan paksa itu. Menindaklanjuti permintaan tersebut, Tito pun menyatakan akan mempertimbangkannya. "Prinsipnya akan kita pertimbangkan," kata dia.