Selasa 19 Sep 2017 16:03 WIB

Pengamat: Pansus Angket KPK Ingin Pengaruhi Presiden

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana melakukan rapat konsultasi dengan Presiden terkait hasil temuannya. Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, langkah ini dilakukan karena akhir-akhir ini, presiden berulangkali menyatakan tidak ingin memperlemah KPK. Bahkan beberapa isu rekomendasi pansus telah ditanggapi presiden dengan sikap sebaliknya.

"Maka langkah meminta konsultasi ini dapat dilihat sebagai upaya memengaruhi presiden. Itu agar setidaknya tidak memperlihatkan secara vulgar sikap menolak poin-poin rekomendasi pansus," ujar Ray Rangkuti dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Selasa (19/9).

Kemudian, Ray menduga, Pansus Angket KPK bakal melempar tanggungjawab kepada Presiden. Artinya, mereka menempatkan presiden sebagai aktor yang paling bertanggungjawab atas rekomandasi Pansus Angket KPK. Apakah rekomendasi itu akan dilaksanakan atau tidak, maka presidenlah sebagai penentu.

Dengan begitu, beban tanggungjawabnya bukan lagi kepada Pansus itu sendiri, tapi kepada presiden. Tentu tindakan ini, secara tidak langsung, Pansus Angket KPK tengah menempatkan presiden dalam posisi serba gamang. "Bagi presiden, jelas hal ini agak mengganggu," tambahnya.

Ray menambahkan, saat ini Pansus Angket KPK dalam posisi bingung dan tidak konsisten. Di satu segi, mereka mengajukan angket KPK, karena merasa bahwa KPK bagian dari ranah kekuasaan pemerintah. Hal itu ebagai pelaksana UU dan penegak hukum, tapi pada saat yang sama mereka juga memisahkan KPK sebagai bukan bagian dari presiden.

Maka sejatinya, jika mereka memandang KPK bagian dari ranah eksekutif, maka jelas penanggungjawab institusi KPK adalah presiden sebagai kepala pemerintah. Artinya, Pansus Angket KPK sejatinya bukan melakukan konsultasi tapi memanggil presiden untuk dimintai keterangan dalam rapat-rapat pansus.

Menurut Ray, Siqkap bimbang dan tak konsisten ini memang sudah terlihat dari awal. Sebut saja berbagai isu yang berkembang di Pansus Angket KPK, tak ada isu yang secara spesifik berkaitan dengan kepemimpinan komisioner yang sekarang. Justru yang dipersoalkan adalah hal yang terkait dengan tahun-tahun sebelum mereka masuk ke KPK.

"Jadi tak jelas apakah angket ini untuk meminta pertanggungjawaban kepengurusan atau institusi. Jika melihat isu dan cara pansus menggali kasus, tindakan mereka sebenarnya lebih tepat dilihat sebagai angket institusi," terang Ray.

Tentu hal ini, sambung Ray, bisa menimbulkan polemik jika dikaitkan dengan pemerintah sebagai institusi. Presiden Jokowi akan bisa diangket karena kinerja presiden-presiden sebelumnya. Dengan semua pertimbangan itu, sebaiknya presiden menolak rencana konsultasi tersebut. Presiden harus memperlihatkan sikap konsistensi bahwa urusan angket adalah urusan legislatif.

"Oleh karena itu, dalam hal ini, tak perlu melibatkan presiden. Sekaligus mencegah upaya pelibatan nama presiden dalam proses yang dipandang masyarakat sebagai upaya pelemahan KPK," tutup Ray.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement