Kamis 14 Sep 2017 15:04 WIB

Debit Air Beberapa Bendungan di Jabar Turun Akibat Kemarau

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadumuljono (ketiga kiri) dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan (kedua kanan) meninjau Bendungan Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, Kamis (17/3).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadumuljono (ketiga kiri) dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan (kedua kanan) meninjau Bendungan Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, Kamis (17/3).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kemarau panjang di Jawa Barat (Jabar) tidak hanya berakibat pada kelangkaan air bersih di sejumlah daerah. Namun, menurut Kepala Dinas PSDA Jabar Nana Nasuha, kemarau juga mengakibatkan penurunan debit air di bendungan- bendungan, seperti yang terjadi di Bendungan Jatigede dan Cileunca.

Bahkan, Nana mengakui, berdasarkan informasi yang dimilikinya, memang terjadi penurunan debit air yang merata di bendungan yang ada di Jawa Barat. Walaupun, penurunan debit air yang terjadi tidak terlalu berpengaruh pada suplai air untuk keperluan pengairan khususnya untuk kegiatan pertanian sawah.

"Bendungan lainnya juga terjadi penyusutan, in flow-nya terjadi penyusutan, tapi out flow-nya masih lumayan cukup besar," ujar Nana kepada wartawan, Kamis (14/9)

Nana mencontohkan, bendungan Jatigede, in flow-nya memang relatif kecil sekitar 5/6m kubik perdetik. Tetapi, karena airnya ditampung dulu di Jatigede, saat dikeluarkan debitnya masih pada angka 25/26 meter kubik perdetik untuk memenuhi kebutuhan air irigasi.

Nana mengatakan, penurunan permukaan air di sejumlah bendungan pada saat kemarau memang menjadi hal yang wajar. Penyebabnya, air dari sungai yang mengalir ke bandungan pun kecil. Dampaknya pun untuk saat ini tidak terlalu parah, hanya sedikit saja lahan pertanian sawah yang tidak terairi jika dibanding dengan jumlah total lahan pertanian yang ada di Jawa Barat.

Dengan pola tanam yang telah ditentukan, kata Nana, maka akan mampu meminimalisasi risiko gagal tanam yang akan dialami petani dalam aktivitas pertaniannya. Pola tanam tersebut, kalau dalam musim tanam satu itu biasanya 100 persen dan musim tanam dua masih bisa 100 persen.

"Paling di musim tanam tiga itu jelas tidak 100 persen. Daerah bendungan selama luas tanam mengikuti pola tanam yang sudah ditetapkan Insya Allah aman," katanya.

Saat ini pun, kata dia, Dinas PSDA Jabar terus melakukan penanganan terhadap kondisi kekeringan di lapangan. Salah satunya, adalah dengan menggelar operasi jaringan irigasi untuk mempertahankan pemanfaatan air.

Operasi Jaringan Irigasi, kata Nana, adalah upaya membagi aliran air yang keluar dari setiap bendungan kepada masing-masing daerah, atau dengan kata lain melakukan interval pengaliran air. "Kita dalam kekeringan ini melakukan operasi, jadi katakan lah ditingkat jaringan utama dibagi sistem golongan, jadi ada jeda waktu, golongan satu, dua, tiga dan seterusnya, " katanya.

Saat ditanya tentang daerah di Jawa Barat yang paling merasakan dampak musim kemarau, Nana mengatakan, daerah yang terdampak adalah di daerah Utara Jawa Barat seperti Indramayu dan sekitarnya. "Daerah Jabar yang paling terdampak, yang paling terdampak seperti Indramayu, walaupun ada kekeringan sifatnya masih ringan, tidak terlalu besar masih sekitar 3000an hektare, tapi tidak parah, hanya ringan sedang, tidak sampai pada gagal panen," katanya.

Sebelumnya, data yang dirilis oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, delapan daerah di Jabar berstatus siaga darurat kekeringan, yakni Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya. Kemudian, jumlah kecamatan yang terdampak adalah 176 kecamatan, 496 desa, dan 936.328 jiwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement