REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris mengatakan, tindakan DPR yang meminta menunda penyidikan terhadap Setya Novanto melalui surat merupakan tindakan salah kaprah. Tindakan itu dinilai tidak menunjukkan komitmen DPR atas penegakan hukum tindak pidana korupsi.
"Sebenarnya salah kaprah jika DPR meminta KPK meminta penundaan pemeriksaan Setya Novanto. Sebab, kasus hukum yang dialami Setya Novanto merupakan kasus personal yang tidak harus melibatkan lembaga," ujar Syamsudin kepada wartawan usai menghadiri diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (13/9).
Dengan begitu, tidak tepat jika permintaan DPT tersebut ditujukan kepada KPK. Permintaan itu, lanjutnya, justru menunjukkan kepada masyarakat bahwa para wakil rakyat tidak berkomitmen kepada pemerintahan yang bersih melalui penguatan KPK.
"Salah kaprah berarti sifatnya blunder (oleh DPR)," katanya.
Langkah DPR disebut akan memperburuk citra DPR di mata publik. Syamsudin mengingatkan bahwa semestinya yang dibela DPR bukan Setya Novanto secara personal.
"Yang harus dibela adalah komitmen KPK dalam menegakkan pemerintahan yang bersih dan pemberantasan korupsi," tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Pimpinan Sekretariat Jenderal DPR RI Hani Tahapsari menyampaikan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berisi permintaan agar KPK menunda proses penyidikan terhadap Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik, pada Selasa (12/9).
Dalam surat tersebut, pimpinan DPR menilai praperadilan adalah hal yang lumrah dalam proses penegakan hukum. Pimpinan DPR meminta KPK mengedepankan azas praduga tak bersalah dan menghormati proses hukum praperadilan yang sedang berlangsung.