Sabtu 09 Sep 2017 23:45 WIB

Gusdurian Terus Ekspos Kondisi Etnis Rohingya di Myanmar

Bocah pengungsi Rohingya berbagi makanan setelah melintasi pesawahan setelah melintasi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Bangladesh, Rabu (6/9).
Foto: Danish Siddiqui/Reuters
Bocah pengungsi Rohingya berbagi makanan setelah melintasi pesawahan setelah melintasi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Bangladesh, Rabu (6/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Jaringan Gusdurian bertekat untuk terus berusaha mengekspos situasi dan kondisi etnis Rohingya di Myanmar, terkait tragedi kemanusiaan oleh militer setempat hingga membuat ribuan etnis Rohingya mengungsi ke negara tetangga, termasuk Indonesia.

"Kami bersama organisasi sosial kemanusian lainnya telah mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan kesempatan media massa atau reporter khusus untuk melihat langsung persoalan yang sebenarnya terjadi di Rakhine Myanmar," kata Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Q Wahid di Pontianak, Sabtu (9/9).

Ia mengatakan, desakan itu sudah dilakukan sejak tahun lalu, ketika pemerintah Myanmar menolak wartawan khusus dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, namun usaha tersebut hingga kini belum berhasil dilakukan. Ditambahkan, setelah berbagai usaha dilakukan, akhirnya Marzuki Darusman dapat diterima pemerintah Myanmar untuk menjadi salah satu dari tim pencari fakta.

"Dengan demikian kami dari jaringan Gusdurian terus mengekspos situasi dan kondisi etnis Rohingya di Myanmar," ungkapnya.

Menurut dia, situasi Rohingya ini tidak gampang untuk dilihat, tetapi saat melihat konflik ini murni masalah agama itu juga dirasakan kurang tepat. "Tetapi banyak hal-hal lainnya yang belum bisa terekspos secara penuh. Untuk itu masyarakat hendaknya jangan sampai ikut terprovokasi," ujarnya.

Ia menambahkan, Rohingya merupakan etnis yang tinggal di Rakhine yang masuk dalam wilayah negara Myanmar yang berbatasan langsung dengan negara Bangladesh. Etnis Rohingya sendiri sejak tahun 1965 tidak masuk dalam nama suku yang ada di Myanmar. Namun, sebelum tahun 1962 etnis Rohingya masuk dalam nama suku di Myanmar.

Kemudian sejak Junta militer tahun 1962 berkuasa dan setelah tahun 1965 nama Rohingya mulai hilang dan berakhir pada 1982. Bahkan mulai saat itu orang-orang Rohingya yang masuk ke Myanmar setelah tahun 1942 dinyatakan bukan lagi sebagai warga Myanmar.

"Di sinilah mulai muncul masalah, di mana orang-orang Rohingya ini menjadi tanpa kewarganegaraan," ujarnya.

Walaupun hal itu benar Rohingya tak memiliki kewarganegaraan, Alissa Q Wahid dengan tegas mengatakan Gusdurian tetap menolak genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya, dan operasi militer tersebut harus segara dihentikan.

"Kami juga berharap terciptanya situasi dan kondisi damai di sana. Dan kami juga mendorong pemerintah Myanmar dapat memulihkan hak kewarganegaraan Rohingya dan di perlakukan sama dengan warga Myanmar lainnya, baik itu hak dan kewajiban," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement