REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengungkapkan alasannya tidak ikut walk out ketika voting dalam Sidang Paripurna, Kamis (20/7) malam. Dia memilih mendampingi Ketua DPR RI Setya Novanto ketika menegsahkan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu).
"Ya biar ajalah. Biar sidangnya ada dua orang gitu yang mimpin," kata Fahri Hamzah, di Kompleks Parlemen Senayan, Sabtu (21/7).
Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan UU Pemilu dengan menetapkan opsi paket A, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. Empat dari sepuluh fraksi yang ada di DPR memilih walk out dari voting pengambilan keputusan yakni Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKS.
Tiga pimpinan sidang yakni Fadli Zon (Gerindra), Taufik Kurniawan (PAN), dan Agus Hermawan (Demokrat) pun turun dari meja pimpinan sidang. Pimpinan sidang akhirnya diserahkan kepada Setya Novanto (Golkar) didampingi Fahri Hamzah.
Fahri mengelak ketika ditanya apakah pilihannya untuk tetap berada di ruang sidang paripurna atas permintaan pihak-pihak lain seperti Setya Novanto. Meski tidak melakukan aksi walk out, Fahri juga mendukung paket B sebagaimana PKS, Gerindra, Demokrat, dan PAN.
"Pertama, saya ini kan sekarang tidak ada yang ngajak konsultasi lagi sekarang," ujar Fahri, disambut gelak tawa para wartawan.
Kedua, ia mengaku hal itu dia lakukan dalam kapasitasnya sebagai wakil ketua DPR RI yang bertugas melancarkan sidang paripurna. Ia menambahkan agar sidang dapat berjalan lancar, minimal harus ada dua orang pimpinan sidang.
"Karena independen, ya, saya merasa bahwa sebagai pimpinan DPR, saya temani ketua supaya keputusannya lebih lancar," kata dia.
Fahri yakin bakal ada banyak kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review terhadap UU Pemilu yang baru disahkan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Fahri, konsep presidential threshold bertentangan dengan prinsip pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Kondisi itu disebutnya berpotensi menciptakan semacam ketidakpastian politik. Ia juga meyakini bahwa judicial review atas Undang-Undang Pemilu ini akan dimenangkan oleh MK.