REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Media Nurul Arifin belum mau berkomentar terkait ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nurul yang mengaku baru mengetahui kabar penetapan tersebut dari media perihal penetapan tersangka kepada ketua umum Partai Golkar tersebut. "Ini baru mendengar beritanya dan belum melihat suratnya ya. Saya kira besok baru ada sikap yg lebih jelas. Kalau memang, tentu kita prihatin ya," ujar Nurul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (17/7).
Staf khusus Novanto itu juga mengaku masih terkejut atas penetapan tersangka tersebut. Ia berharap jika kabar itu benar, tidak ada intervensi dari pihak manapun dalam kasus tersebut.
"Kita ikuti saja. Saya tidak berani berkomentar banyak, masih kaget, masih kaget," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto menjadi tersangka kasus pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).
"Setelah mencermati fakta persidangan dari dua terdakwa kasus KTP-el, Irman dan Sugiharto pengadaan paket KTP-el tahun 2011 dan 2012 di Kemendagri, KPK temukan bukti permulaan yang cukup seorang lagi jadi tersangka. KPK menetapkan saudara SN anggota DPR RI pada 2009 sampai 2011 sebagai tersangka. Karena menguntungkan diri sendiri menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari paket pengadaan Rp 5,9 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (17/7).
Agus menjelaskan, SN melalui pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang saat ini menjadi tersangka mempunyai peran dalam proses perencanaan serta pengadaan barang KTP-el di DPR. Selain utu, SN melalui AA diduga juga mengondisikan pemenang barang dan jasa KTP-el.
Sejauh ini, terdakwa dalam kasus ini adalah mantan direktur jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Irman sudah dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara. Kemudian Miryam S Haryani didakwa melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman 12 tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atas Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara, Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana.