REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan aplikasi komunikasi Telegram banyak digunakan oleh kelompok teroris di Indonesia. "Pemblokiran Telegram ini karena sistem komunikasi ini banyak digunakan oleh kelompok teroris, terlihat dari kasus-kasus sebelumnya seperti kasus bom di Jalan Thamrin Jakarta, di Medan, Bandung dan terakhir di Falatehan. Semua berkomunikasi menggunakan aplikasi Telegram," kata Tito usai menghadiri peresmian Akademi Bela Negara Partai Nasdem di Jakarta, Ahad (16/7).
Tito menyebutkan aplikasi media sosial itu digunakan banyak kelompok teroris, karena memiliki banyak fitur pendukung di antaranya ada enskripsi sehingga sulit disadap. "Kedua mampu menampung anggota grup sampai 10 ribu anggota dan kemudian menyebarkan paham-paham di sana," tuturnya.
Ia menyebutkan saat ini terjadi fenomena yang disebut dengan radikalisasi melaui media daring, termasuk Telegram. Ini lebih berbahaya karena sulit dideteksi sehingga bisa secara sporatis dan tiba-tiba meledak di sana sini," ucapnya.
Menurut dia, cara mencegahnya adalah dengan memperkuat deteksi media daring atau sistem siber, kemudian melakukan langkah penegakan hukum di situ. "Upaya lain seperti penutupan atau mungkin kita masuk dan menyamar di jalur itu," imbuhnya.
Namun, untuk masuk dan menyamar, persoalan yang dihadapi adalah mereka tahu teknik-teknik untuk menghindar sehingga yang dilakukan penutupan. "Memang kemudian muncul pro dan kontra. Tapi itu biasa dan saya kira lebih banyak untungnya," katanya.
Tito mengaku kebijakan memblokir Telegram memang referensinya berasal dari pihaknya. "Ya, itu dari hasil intelijen kita yang sudah cukup lama," ungkapnya.
Ia menjelaskan saat ini terjadi perubahan dalam komunikasi kelompok teroris. Ia menyebutkan terorisme ada dua macam satu yang terstruktur kedua tidak terstruktur. "Kalau terstuktur maka kekuatan intelijen menjadi kekuatan nomor satu untuk memetakan struktur mereka sampai sedetil-detilnya," paparnya.
Sementara untuk yang nonstruktur atau jihad tanpa pemimpin atau self-radikalisasi, menurut Tito, mulai berkembang di negara-negara Barat sejak 10 tahun yang lalu. "Melalui media sosial bisa dilakukan latihan membuat bom, atau online training. Langkah kita yang utama adalah memutus sistem komunikasi mereka dan melakukan kontra radikalisasi, dan melindungi mereka yang rentan terhadap paham radikal," katanya.