REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan pemblokiran situs dan aplikasi chatting Telegram didasari alasan dan bukti yang kuat karena telah disalahgunakan untuk penyebaran ajaran radikal yang mengarah pada terorisme.
"Kami punya bukti yang kuat, ada lebih dari 500 halaman, mulai dari ajaran radikal, cara membuat bom, ajakan membenci aparat kepolisian, banyak!" kata Rudiantara di Pesawat Kepresiden Boeing 737-400 TNI AU, Sabtu (15/7).
Menkominfo menjelaskan pemblokiran Telegram telah dikonsultasikan dan atas persetujuan tiga institusi, yakni Kemkominfo, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). "Jadi kami tidak asal take down, BIN dan BNPT juga menyetujui situs ini diblokir," kata dia.
Rudiantara menambahkan dibandingkan penyedia fasilitas pesan instan dan media sosial lainnya, Telegram tidak memiliki prosedur pengaduan yang efektif sehingga menyulitkan komunikasi apabila pihaknya mendapatkan konten pesan yang berbahaya. "Lain, misalnya, Twitter punya kantor di Jakarta, Facebook setidaknya ada di Singapura, dan semuanya bisa kita hubungi kalau ada konten yang bermasalah," kata dia.
Karena itu, Menkominfo juga telah meminta Telegram untuk membuat standar operasional prosedur (SOP) penanganan konten-konten radikalisme. "Kalau mereka sudah buat SOP-nya bisa kita review untuk membatalkan pemblokiran," kata dia.
Kemkominfo pada Jumat (14/7) telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 Domain Name System (DNS) milik Telegram yang semula dapat diakses melalui PC.