Jumat 14 Jul 2017 22:44 WIB

Usai Diperiksa 5 Jam oleh KPK, Setno Irit Bicara

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memberikan keterangan pers (Ilustrasi)
Foto: Republika/Adrian Saputra
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memberikan keterangan pers (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, pemeriksaan terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto, lantaran munculnya nama Setnov di dalam dakwaan jaksa pada persidangan tersangka kasus pengadaan KTP-elektronik, Irman dan Sugiharto.

"Ya kan kalian tahu beberapa kali disebut-sebut (dalam persidangan). Kalau disebut kan kita harus tanya. Gitu aja, intinya begitu," ungkap Saut di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan , Jumat (14/7).

Saut tidak menjelaskan secara detil pertanyaan apa saja yang diajukan kepada politisi partai Golkar tersebut. Ia pun enggan mengomentari akan adanya peningkatan status dari saksi menjadi tersangka untuk Setnov.

Selama lima jam Ketua DPR RI, Setya Novanto menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong (AA). Mengenakan batik cokelat lengan panjang, Setnov keluar dari Gedung Merah Putih KPK didampingi Sekjen Partai Golkar Idrus Marham.

Namun, tidak sesuai dengan janjinya saat baru datang yang akan memberikan keterangan usai pemeriksaan, Setnov keluar dari Gedung Merah Putih dengan melemparkan senyum dan irit bicara. "Sama yang kayak di dalam fakta persidangan sidang," ujar Setnov.

Usai memberikan pernyataan tersebut, Setnov langsung menaiki mobil Fortuner hitam dengan nomor polisi B 1732 ZLO miliknya. Sama seperti Setnov, Idrus juga enggan berkomentar terkait pemeriksaan tersebut.

Sebelumnya, KPK dijadwalkan memanggil Setya Novanto pada Jumat (7/7), namun yang bersangkutan berhalangan hadir karena sakit. Setya Novanto juga sudah pernah dua kali diperiksa yaitu pada 13 Desember 2016 dan 10 Januari 2017.

Pada dua pemeriksaan itu, dia menjadi saksi untuk dua orang yang saat ini sudah menjadi terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.

Nama Setya Novanto juga disebut dalam surat tuntutan Irman dan Sugiharto, yaitu ketika Andi Agustinus alias Andi Narogong menawarkan kepada Irman dan Sugiharto untuk bertemu dengan Setnov demi kelancaran proyek KTP-El dengan mengatakan "Kalau berkenan Pak Irman nanti bersama Pak Giarto akan saya pertemukan dengan Setya Novanto". Lalu, Irman bertanya "buat apa?" dan dijawab oleh Andi Agustinus: "Masak nggak tahu Pak Irman? Ini kunci anggaran ini bukan di Ketua Komisi II, kuncinya di Setya Novanto". Jawaban itu dibalas oleh Irman "O..begitu".

Menurut jaksa KPK, menindaklanjuti kesepakatan itu, beberapa hari kemudian sekitar pukul 06.00 WIB di Hotel Gran Melia Jakarta, para terdakwa bersama-sama dengan Andi Agustinus dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini bertemu dengan Setya Novanto. Dalam pertemuan itu, Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-El.

Beberapa hari kemudian Terdakwa I dan Andi Agustinus menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut, Irman dan Andi Agustinus meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek penerapan KTP Elektronik.

Atas pertanyaan tersebut, jaksa menyatakan, Setya Novanto mengatakan 'Ini sedang kita koordinasikan, perkembangannya nanti hubungi Andi'. Diduga, atas bantuan Setnov, konsorsium PNRI yang terdiri atas Perum PNRI, PT LEN Indusgtri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra dapat memenangkan proyek KTP-El dengan nilai kontrak Rp 5,841 triliun.

Sampai 2 Agustus 2012, Sugiharto telah melakukan pembayaran tahap 1-3 pada tahun 2011 serta pembayaran tahap 1-2012 yang seluruhnya berjumlah Rp 1,979 triliun. Berdasarkan laporan Andi Agustinus dan Anang S Sudihardja kepada Sugiharto, sebagian uang yang diterima tersebut diberikan kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya yang kemudian memicu perselisihan antara Andi Agustinus dengan Anang karena tidak bersedia memberikan uang lagi.

Atas perselisihan itu, Irman lalu memerintahkan Sugiharto mengadakan pertemuan dengan Andi Agustinus dan direktur utama PT Quadra Solution Anang S Sudihardjo di Senayan Trade Center guna mencari solusi atas perselisihan tersebut, namun keduanya tidak mencapai kesepakatan.

Karena itu, Andi Agustinus marah sambil mengatakan: "Kalau begini saya malu dengan SN (Setya Novanto), ke mana muka saya dibuang, kalau hanya sampai di sini sudah berhenti".

Pertemuan tersebut, menurut jaksa, merupakan perbuatan permulaan untuk mewujudkan delik, karena pada dasarnya setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut menyadari dan menginsyafi pertemuan tersebut bertentangan dengan hukum serta norma kepatutan dan kepantasan.

Sejauh ini, terdakwa dalam kasus itu adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman sudah dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut. Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Miryam S Haryani pada Kamis (13/7) didakwa melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement