Selasa 04 Jul 2017 16:42 WIB

Polisi Jadi Sasaran Teror Bukan Berarti TNI Perlu Dilibatkan

Rep: Santi Sopia/ Red: Ratna Puspita
Petugas kepolisian membawa jenazah tersangka pelaku teror bunuh diri Terminal Kampung Melayu, di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, Senin (29/5).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Petugas kepolisian membawa jenazah tersangka pelaku teror bunuh diri Terminal Kampung Melayu, di Rumah Sakit Polri Sukanto, Kramat Jati, Jakarta, Senin (29/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai teror ke markas polisi belum dapat dikatakan sebagai momentum pelibatan TNI. Dia menyebut pelibatan TNI dalam penanggulangan aksi teror seharusnya hanya diberlakukan untuk pemberantasan kelompok teror yang berkembang menjadi kelompok insurgent alias pemberontak.

Khairul mengatakan TNI dapat dilibatkan ketika ada pemberontakan sekaligus ada upaya penguasaan wilayah tertentu. Atau, kalau aksi-aksi teror tersebut diduga terkait dengan upaya merongrong kedaulatan negara, separatisme, atau pemisahan diri. 

"Seperti kasus di Marawi, Filipina Selatan maupun di Thailand Selatan," kata Khairul, Selasa (4/7).

Skema pemberantasan teror di luar itu, Khairul mengatakan, seharusnya tetaplah merupakan suatu upaya penegakan hukum atas kejahatan luar biasa dengan BNPT dan Polri sebagai ujung tombaknya. 

Partisipasi lembaga-lembaga lain mestinya berada dalam kerangka kerja BNPT. "Bukan menonjolkan ego sektoral masing-masing," ujar Khairul. 

Di sisi lain, Khairul mengakui adanya fenomena kelompok teroris yang bergeser menjadi aksi insurgent atau pemberontakan. Kondisi ini seperti terjadi di Suriah dan Marawi, Filipina. 

Khairul menerangkan, secara global ada kegagalan perang melawan teror seperti yang dicanangkan Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu. Kelompok-kelompok teroris global ini bukan habis, melainkan bermetamorfosis menjadi aksi insurgensi atau pemberontakan.

Akibatnya, kelompok ini menjadi sulit dijangkau hanya dengan upaya penegakan hukum dan makin merepotkan. "Sejatinya teror ekstrem bukan fenomena baru. Setidaknya sejak 2002, teror seperti ini sudah mengancam Indonesia," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement