Kamis 17 May 2018 01:21 WIB

Keterlibatan TNI Berantas Terorisme Harus Terukur

Akuntabilitas harus dikedepankan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah anggota Densus 88 menjaga ketat kendaraan taktis yang membawa tiga orang terduga teroris setelah penggerebekan di Gempol, Tangerang, Banten, Rabu (16/5).
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Sejumlah anggota Densus 88 menjaga ketat kendaraan taktis yang membawa tiga orang terduga teroris setelah penggerebekan di Gempol, Tangerang, Banten, Rabu (16/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme harus terukur. Ukuran ini di antaranya terkait situasi yang membuat TNI bisa terlibat. Sebab bagaimanapun, pemberantasan terorisme termasuk ranah penegakan hukum.

"Dalam konteks pelibatan TNI, sebenarnya sudah diatur berdasarkan UU 34/2004 tentang TNI. Jika harus ada pelibatan TNI (dalam revisi UU 15/2003 tentang terorisme), harus ada ukuran yang jelas tentang skala ancamannya," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (16/5).

Fickar memaparkan, karena pemberantasan terorisme termasuk ranah penegakan hukum, maka segala tindakan yang dilakukan harus berdasar dan terukur. Akuntabilitas juga harus dikedepankan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam memberantas terorisme.

"Mekanisme hukum selalu mengedepankan akuntabilitas untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Selain berdasar dan terukur, segala tindakan (dalam memberantas terorisme) juga (harus) dapat dikontrol atau diawasi publik," papar dia.

Fickar melanjutkan, tindakan penegakan hukum Polri dalam memberantas terorisme bersifat tertutup. Namun, bukan berarti Polri harus bekerja sendiri. Polri juga memungkinkan untuk mendapat bantuan dari institusi lain seperti TNI bila ancaman terorisme yang ada sudah membahayakan negara.

UU Terorisme yang sekarang ini, menurut Fickar, sebetulnya punya keistimewaan tersendiri. Di UU tersebut, penangkapan terhadap seseorang atau kelompok yang hendak membuat teror, dilakukan selama tujuh hari.

Sedangkan KUHAP mengatur bahwa penangkapan terhadap seseorang atau kelompok yang berencana berbuat kriminal dilakukan selama satu hari. Fickar mengakui, UU 15/2003 namun tidak mengatur soal pencegahan terhadap tindakan terorisme. Namun UU tersebut sudah mengatur program deradikalisasi.

Revisi UU Terorisme belum rampung dan masih dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Beberapa hal dalam revisi tersebut juga masih belum menemukan titik temu. Selain soal definisi teroris yang belum kelar, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme juga masih menimbulkan perbedaan pandangan. Khususnya, terkait dalam situasi apa TNI bisa terlibat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement