REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar menilai peluang transaksi suap-menyuap di bulan Ramadhan lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Sebab, kegiatan masyarakat di Ramadhan terfokus pada ibadah.
"Ada kondisi yang memungkinkan. Ini bulan puasa, banyak orang menyalurkan waktunya ke kegiatan ibadah, misalnya tarawih dan itikaf. Perhatian orang kan jadi ke sana (ibadah), kemudian dia (oknum) manfaatkan itu," kata dia saat dihubungi, Ahad (18/6).
Para tersangka korupsi itu, kata Haryono, tentu mencari waktu, situasi dan kondisi yang tepat, untuk melakukan transaksi suap-menyuap. Bulan Ramadan, menurutnya, kerap dianggap sebagai waktu yang tepat untuk bertransaksi karena pengawasan di bulan tersebut yang melemah.
Anggapan tersebut didasari pada banyaknya orang yang beribadah di bulan itu. Padahal, meski memang banyak orang yang beribadah, tetap tidak menyurutkan upaya KPK dalam pemberantasan korupsi. "Nah ini yang Alhamdulillah KPK tetap melakukan tugasnya," ujar dia.
Selain itu, menurut Haryono, kebutuhan di bulan Ramadhan, apapun bentuknya, bagi sebagian orang memang mengalami peningkatan. Hal ini membuat orang berusaha keras untuk mencari sumber pendapatan lain di luar gaji bulanan. Haryono menjelaskan, di hari raya besar memang dikenal adanya tunjangan hari raya (THR). THR yang biasanya diberikan kepada pegawai di sebuah perusahaan, bisa jadi dimanfaatkan pejabat atau penyelenggara negara sebagai media untuk meminta atau memberi uang atau janji kepada jajaran pejabat yang lain.
Kasus dugaan suap yang terjadi DPRD Jawa Timur, atau DPRD Kota Mojokerto, menurut Haryono, kemungkinan terkait dengan penggunaan THR sebagai media dalam suap-menyuap.
"Misal pihak dinas yang mengiming-imingi, 'bagaimana nih pak, Lebaran mau ke mana, sudah siap belum segala macamnya.' Kalau yang memulai dari DPRD, 'kita mau Lebaran bagaimana ni, THR ada nggak ni.' Nah kalau ini dia bisa masuk ke unsur pemerasan," kata dia.
Pada bulan Ramadan ini, KPK melakukan OTT sebanyak empat kali. OTT pertama yakni terkait kasus suap opini WTP antara Kementerian Desa PDTT dan BPK yang dilakukan satu hari menjelang Ramadhan. OTT berikutnya terkait kasus suap antara dinas-dinas di pemprov Jawa Timur dan DPRD Jawa Timur. Kemudian, KPK juga menangkap tangan Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba dalam kasus suap di Kejati Bengkulu.
Kasus tersebut melibatkan pejabat di Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VII Provinsi Bengkulu, Amin Anwari dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo, Murni Suhardi. Ketiganya ditetapkan tersangka setelah ditangkap tangan oleh KPK pada Jumat 9 Juni lalu.
Terakhir adalah kasus suap di DPRD Mojokerto di mana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya ditangkap tangan pada Jumat 16 Juni kemarin. Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto, Ketua DPRD Kota Mojokerto dari PDI-P, Purnomo, dan Wakil Ketua DPRD Mojokerto dari PKB, Abdullah Fanani, terlibat di dalamnya dan kini telah ditetapkan tersangka.