REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tidak mengizinkan mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani hadir di rapat Pansus Hak Angket sudah tepat, kata seorang peneliti.
"Kehadiran Miryam di Pansus Hak Angket berpotensi mengaburkan pemeriksaan projustitia yang sedang dilakukan oleh KPK. Terlebih, status Miryam yang sedang dikenakan penahanan oleh KPK," kata Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Ginting melalui keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (17/6).
Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
"Artinya, KPK berwenang untuk menempatkan seseorang pada tempat tertentu dalam pengawasannya sepanjang untuk alasan pemeriksaan penegakan hukum," tuturnya.
Ia mengatakan pemeriksaan terhadap Miryam telah dan sedang berlangsung, begitu juga permohonan praperadilan yang bersangkutan telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Patut diperkirakan tidak lama lagi, terhadap perkara ini akan dilakukan penuntutan di muka persidangan," kata Miko.
Oleh karena itu, kata dia, biarlah pemeriksaan berjalan sesuai koridor penegakan hukum, yaitu di muka persidangan karena keterangan yang bersangkutan dapat digali secara mendalam di muka persidangan dalam koridor penegakan hukum.
"Upaya untuk menghadirkan Miryam di Pansus Hak Angket merupakan proses politik yang dapat mengaburkan proses penegakan hukum," ucap Miko.
KPK telah menetapkan Miryam sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.