Rabu 31 May 2017 20:18 WIB

KPK Geledah Dua Rumah Markus Nari

 Anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar Markus Nari
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar Markus Nari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menggeledah rumah anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Markus Nari. Pengeledahan dilakukan terkait penyidikan kasus memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara proyek KTP elektronik (KTP-el) untuk tersangka Miryam S Haryani. "Pada 10 Mei 2017, penyidik menggeledah dua rumah milik Markus Nari (Anggota DPR) terkait penyidikan tersangka MSH," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (31/5).

Dua rumah itu adalah rumah pribadi Markus di daerah Pancoran, Jakarta Selatan dan rumah dinas di Kompleks perumahan anggota DPR Kalibata, Jakarta Selatan. "Dari lokasi, penyidik menemukan dan menyita copy BAP atas nama Markus Nari dan barang bukti elektronik berupa HP dan USB," tambah Febri.

Markus Nari adalah salah satu anggota DPR yang disebut dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-E 2010-2012. Dalam dakwaan disebutkan guna memperlancar pembahasan APBN-P tahun 2012 tersebut, sekitar pertengahan Maret 2012 Irman dimintai uang sejumlah Rp 5 miliar oleh Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR.

Untuk memenuhi permintaan tersebut, Irman memerintahkan Suharto untuk meminta uang tersebut kepada Direktur Utama PT Quadra Solution Anang S Sudiharjo yang merupakan anggota konsorsium PNRI. Atas permintaan itu, Anang hanya memenuhi sejumlah Rp 4 miliar yang diserahkan kepada Sugiharto di ruang kerjanya. Selanjutnya Sugiharto menyerahkan uang tersebut kepada Markus Nari di restoran Bebek Senayan, Jakarta Selatan.

Namun dalam sidang 6 April 2017 lalu, Markus yang menjadi saksi dalam sidang membantah hal tersebut. Miryam disangkakan melanggar pasal 22 jo pasal 35 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.

Dalam persidangan pada Kamis (23/3) di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP elektronik (KTP-el). "BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam oleh penyidik sebanyak tiga orang, diancam pakai kata-kata," kata Miryam sambil menangis.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement