Rabu 31 May 2017 15:07 WIB

Pelibatan TNI Atasi Terorisme Jangan Langgar Konstitusi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ratna Puspita
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme tetap harus sesuai koridor hukum yang berlaku di Indonesia. Jangan sampai, pemberian kewenangan terhadap militer untuk memberantas terorisme justru melanggar konstitusi.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie mengatakan, UUD Pasal 30 Ayat 2,3, dan 5 telah menjelaskan peran TNI dan Polisi dalam keamanan negara. Peran itu juga sudah diperjelas dalam Undang-Undang TNI No 34/2004 tentang TNI. 

Aturan itu menegaskan TNI tidak terlibat, melibatkan diri, dan dilibatkan diri dalam urusan nonpertahanan dan keamanan dalam arti luas. "Kecuali kondisi tertentu," kata Jimly ketika ditemui di Kantor Wakil Presiden, Rabu (31/5). 

Kondisi tertentu itu merujuk pada keadaan darurat seperti perang dan darurat militer. Dalam keadaan darurat, militer dapat mengambil alih segala urusan pertahanan dan kemanan. Termasuk pengadilan militer dapat mengambil peran sebagai pengadilan sipil. 

Namun, dalam kondisi tidak ada perang atau kondisi sipil maka fungsi-fungsi sipil yang berlaku. "Nah, dia (TNI) tidak perlu dilibatkan kecuali atas permintaan. Itu sudah diatur dalam UU TNI, sudah lengkap," ujar dia. 

Jimly mengatakan, ancaman terorisme memang dapat dikategorikan dalam kondisi perang. Namun, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme pascaledakan bom di Halte Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta Timur, dan sejumlah aksi lain perlu kajian mendalam. 

Menurut Jimly, pelibatan TNI ini harus dirumuskan dengan matang agar tidak melampaui ketentuan yang sudah diatur. "Asal jangan melampaui ketentuan yang sudah diatur," kata dia. 

Jimly mengaku belum pernah diminta masukan untuk berbicara mengenai peran TNI dalam menangani terorisme. Namun, dia mengingatkan, MK pernah membatalkan penerapan UU ketentuan Perpu No 2 tahun 2002 yang disahkan menjadi UU 16/2003 dalam kasus bom bali. 

MK membatalkan penerapan azas retroaktif atau berlaku surut dalam Perpu 2/2002 itu. "Dia tak boleh retroaktif karena ini kejahatan yang kategorinya sebagai extraordinary cime belum clear. Beda dengan, misal, genosida," kata Jimly.

Jimly mengaku tidak terlalu memahami ide masuknya peran TNI dalam revisi UU Terorisme yang sedang dibahas DPR dan pemerintah. Dia menambahkan meski banyak yang marah atas terorisme, kemarahan harus tetap dalam koridor konstitusional. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement