REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau ekstra ordinary crime. Karena itu, KPK juga menghendaki delik kasus korupsi harus berada luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang usai hadir dalam rapat pembahasan antara Komisi III DPR dengan Pemerintah terkait DIM RUU KUHP, yang kemudian ditunda pelaksanaannya hingga Rabu (24/5) esok.
"Belum ada perubahan, kan tadi ditunda. Kalau usulan kita ya seperti yang kita sampaikan. Kalau dari KPK sih kita bicara soal extra ordinary crime. Dia harus keluar dari KUHPnya. Dan itu pendapat kita yg lama. Belum berubah," kata Saut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (22/5).
Menurutnya, pendapat KPK tersebut bukan karena adanya kekhawatiran dilemahkannya KPK. Namun hal ini soal penguatan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia.
Ia kembali mengingatkan perihal dibentuknya KPK yang tak lain demi penegakan dan pemberantasan korupsi yang efisien dan efektif.
"Kalau kita mau efisien dan efektif. Kemudian efek jera. Kita lihat sejarah KPK kan ada yang tidak efisien dan efektif. Mulai dari tahun 1940-an hingga 1990-an. Kemudian lahirlah UU KPK, itu UU Tipikornya saja diperbaiki dulu," kata Saut.
Barulah masukan kesepakatan dengan lembaga PBB yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) terkait aturan jual beli pengaruh (trading influence), privat sektor dan lainnya. Ia menilai hal tersebut juga sangat cukup untuk penegakan korupsi di Indonesia.
Namun demikian, Saut menyadari bahwa KPK bukanlah lembaga pembuat UU, dan sebagai lembaga penegak hukum. “Tapi lagi-lagi kita law enforcemnet. We are not law maker (pembuat produk hukum). Produknya kalau mau efisien itu harus dikeluarkan dari KUHP-nya," katanya.