Senin 22 May 2017 02:48 WIB

Jokowi Sarankan Pendekatan Agama dan Budaya untuk Atasi Terorisme

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Joko Widodo
Foto: Republika/ Wihdan
Presiden Joko Widodo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya pendekatan soft-power melalui pendekatan agama dan budaya dalam upaya menangani radikalisme dan terorisme. Pendekatan soft-power ini penting dilakukan untuk menyeimbangkan langkah-langkah yang dilakukan secara hard-power.

Sebab, dalam sejarahnya, menggunakan senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi masalah terorisme. Jokowi menilai pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar.

Hal ini disampaikan Presiden Jokowi ketika berbicara di Arab Islamic America Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh Arab Saudi, Ahad (21/5).

"Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia melibatkan masyarakat, keluarga, termasuk keluarga mantan narapidana terorisme yang sudah sadar, dan organisasi masyarakat," kata Jokowi, berdasarkan siaran resmi Istana.

Untuk kontra radikalisasi, lanjut Presiden, pemerintah Indonesia merekrut para netizen muda dengan follower yang banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai.

"Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk terus mensyiarkan Islam yang damai dan toleran," ujarnya.

Menurutnya, memperbanyak pesan damai lebih penting daripada pesan kekerasan. Sebab, setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Dalam kesempatan ini, Presiden mengatakan pertemuan ini memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan Amerika Serikat dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh.

"Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan kerjasama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia," katanya.

Presiden mengatakan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di mana-mana. Indonesia menjadi salah satu korban aksi terorisme di mana serangan di Bali terjadi pada 2002 dan 2005 dan serangan di Jakarta terjadi Januari 2016.

"Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme di berbagai belahan dunia di Perancis, Belgia, Inggris, Australia dan lain-lain," ucap Jokowi.

Ia melanjutkan, dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara seperti Irak, Yaman, Suriah, Libya. Umat Islam sendiri menjadi korban terbanyak dari konflik dan radikalisme serta terorisme.

Tak hanya itu, Presiden juga mengatakan bahwa jutaan masyarakat harus keluar dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Serta jutaan generasi muda lainnya kehilangan harapan masa depannya. Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya bibit-bibit baru radikalisme.

"Kondisi ini membuat anak-anak muda frustasi dan marah. Rasa marah dan frustasi ini dapat berakhir dengan munculnya bibit-bibit baru ektremisme dan radikalisme," kata Jokowi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement