REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Divisi Investigasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan perlindungan kepada 13 saksi kasus megakorupsi KTP-el. Para saksi tersebut harus terjamin bebas dari tekanan fisik dan psikologis.
"Sebab ada kemungkinan para saksi mengubah keterangan yang sudah disampaikan karena ancaman pihak lain," ungkap Tama.
Kecenderungan tersebut, menurut Tama, sudah mulai terlihat dari kasus Miryam S Haryani. Dalam kasus Miryam, ada pertentangan antara berita acara pemeriksaan (BAP) dengan kesaksian yang diberikan.
"Nah, kalau kemudian akan menutupi pihak penerima tentu saja bisa. Boleh jadi karena keterangan tersebut akan mengarah kepada pihak tertentu maka untuk menutupinya saksi menarik BAP yang sudah disampaikan lewat proses hukum di pengadilan," ujar Tama.
ICW menduga jumlah pihak yang menerima aliran dana korupsi KTP-el akan teris bertambah.
"Saat ini masa persidangan baru digelar 15 kali maka tentu ke depan masih banyak sekali informasi yang berkembang," ungkap Tama kepada wartawan di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad (21/5).
Tama mengatakan pihak yang belum terlihat perannya justru mereka yang pernah disebut, tetapi yang bersangkutan membantah. Selain itu, ada pula sejumlah pihak yang disebut dalam kesaksian terdakwa.
Di sisi lain, Tama memerhatikan masih banyak kesaksian yang diuji di persidangan. "Dalam pandangan saya tetap akan ada pihak lain yang terlibat dan kemungkinan ada tambahan besaran aliran dana yang diterima oleh pihak lain tersebut," ujar Tama.
Berdasarkan catatan ICW dan BEM Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia (STHI) Jentera, ada 15 pihak yang hingga saat ini sudah mengembalikan uang aliran dana korupsi KTP-el kepada KPK, yakni dua orang terdakwa (Irman dan Sugiharto), delapan orang penyelenggara negara, tiga orang pengusaha, satu orang advokat, dan satu orang akademisi. Data itu berasal dari pantauan persidangan ke 15 pada 18 Mei lalu.