Ahad 30 Apr 2017 16:00 WIB

Tak Ada Pengibaran Bendera RMS, Anhar Gonggong: Ini Perubahan Positif!

Warga berfoto di depan Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) di Kota Ambon, Maluku, Rabu (8/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga berfoto di depan Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) di Kota Ambon, Maluku, Rabu (8/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA –- Sejarawan DR Anhar Gonggong mengatakan merasa bahagia ketika mendengar peringatan kelahiran Republik Maluku Selatan (RMS) yang jatuh pada 25 April tidak lagi ditandai munculnya insiden pengibaran bendera RMS. Hal ini menandakan telah terjadi perubahan sikap yang positif dari generasi muda Maluku ketika melihat peristiwa yang terjadi pada masa lampaunya.

‘’Dalam hal ini sebenaranya setiap kali membicarakan RMS itu juga tidak selalu berkonotasi negatif. Terlihat kini generasi muda Maluku sudah berubah pandangannya mengenai peristiwa itu. Mereka sadar hal itu memang terjadi di masa lampunya dan mereka pun sudah berani melakukan koreksi dengan melihat ke masa depan. Ini jelas sebuah fenomena membahagiakan,’’ kata Anhar Gonggong, kepada Republika.co.id, (30/4).

Pada sisi lain, sebenarnya munculnya gerakan RMS di tahun 1950 itu adalah juga merupakan sebuah proses dalam berbangsa. Saat itu, tokoh RMS Chris Soumokil mengalami ketakutan sekaligus salah paham dengan munculnya kemerdekaan Republik Indonesia. Soumukil khawatir karena wliayah Maluku selatan sangat terpencil dan kebanyakan penduduknya menganut agama Nasrani akan terlupakan dalam perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia.

“Saya rasa Soumokil cemas melihat perkembangan politik yang baru dengan hadirnya Indonesia Merdeka. Dia lupa bahwa di BPUPKI ada tokoh asal Maluku, yakni Johanes Laturharhary, yang begitu intens terlibat dalam pembentukan negara Indonesia itu. Kecemasan itu kemudian dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk menggalang gerakan bersenjata untuk memisahkan diri dengan membentuk negara federasi Indonesia Timur,’’ tegas Anhar lagi.

Selain itu, lanjut Anhar, adanya peristiwa RMS juga menjadi pelajaran bagi bangsa ini betapa kekuatan kolonial itu selalu ingin membuat bangsa ini lemah dan terpecah. Ini karena mereka selalu meninggalkan negara jajahannya dengan sikap tidak ikhlas, bahkan ingin menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi koloninya.

‘’Setiap kali kekuasaan kolonial pergi mereka selalu saja meninggalkan bom waktu masalah. Hal yang sama juga terjadi Belanda di Papua Barat. Kolonial Inggris juga melakukan hal yang sama ketika meninggalkan India. Mereka juga membuat persoalan dengan membantu kemunculan gerakan separatis di wilayah Khasmir. Di mana-mana kekuasaan kolonial memang selalu begitu,’’ kata Anhar Gonggong menandaskan.


 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement