Sabtu 29 Apr 2017 15:22 WIB

Hak Angket KPK Dinilai Gambarkan Konflik Kepentingan di Internal DPR

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Nur Aini
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi bersiap membacakan surat usulan pengajuan hak angket KPK dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi bersiap membacakan surat usulan pengajuan hak angket KPK dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi Syafrani menilai bergulirnya hak angket KPK semata-mata karena adanya konflik kepentingan yang berkaitan dengan DPR RI. Jika tidak berkaitan, ia meyakini tidak akan sampai DPR menggulirkan hak angket.

"Di sini persoalan serius hak angket ini mengandung conflict of interest kalau kasus itu tidak menyangkut internal DPR, saya pasti bisa lihat objektif itu pengawasan, kalau misalnya KPK salah prosedur saya setuju diselidiki tapi karena terkait nama-nama yang punya persoalan ini makanya ada hak angket," kata Andi.

Hal sama diungkapkan Peneliti dari Formappi Lucius Karus bahwa yang dilakukan Komisi III DPR RI juga tak mencerminkan mitra yang patuh hukum. Hal ini karena salah satu alasan hak angket lantaran keinginan Komisi III DPR RI agar KPK membuka rekaman BAP Miryam. Menurut Lucius, hal ini jelas menyalahi peraturan perundangan mengingat kasus Miryam saat ini tengah berproses di persidangan.

"Komisi III DPR RI katanya paham hukum tapi kita nggak melihat mereka nampak paham. Orang hukum di luar sana saja tahu," kata Lucius.

Selain itu, DPR dinilai menerapkan standar ganda dalam menggulirkan hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini karena alasan DPR yang hendak melakukan pengawasan hanya berlaku kepada KPK.

Padahal kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, mitra kerja Komisi III DPR RI yang perlu diawasi tidak hanya KPK tetapi juga Polri dan Kejaksaan. Ia menilai sejumlah kasus yang ada di tubuh internal kepolisian dan Kejaksaan lebih tepat untuk dilakukan penyelidikan lantaran berdampak kepada masyarakat luas.

"Kalau alasan mau mengawasi KPK, kok polisi dan jaksa juga nggak ada. Kalau terkait persoalan anggaran, itu kenapa kasus simulator SIM di Polri tidak diangkat juga, saya setuju memang diawasi tapi jangan DPR menggunakan standar ganda," kata Donal di Kawasan Menteng, Jakarta pada Sabtu (29/4).

Menurutnya, dasar alasan lain DPR terkait usulan hak angket berkaitan kasus penegakan hukum kepada anggota DPR RI Miryam S Haryani dalam kasus dugaan korupsi KTP Elektronik. Menurutnya, jika kasus tersebut dinilai layak untuk dijadikan angket DPR, masih banyak kasus lainnya yang lebih pas untuk diperjuangkan DPR RI.

"Ada Siyono yang tewas terduga teroris kemudian dipulangkan dengan tidak bernyawa dan 100 juta  penembakan di Palembang kenapa nggak diangket. Apakah BAP Miryam lebih berharga dibandingkan nyawa," kata Donal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement