Jumat 28 Apr 2017 18:35 WIB

Menristek Resmikan Unit Produksi Enzim Pertama Indonesia

Rep: Kabul Astuti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Menristekdikti, Mohamad Nasir.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Menristekdikti, Mohamad Nasir.

REPUBLIKA.CO.ID, GRESIK -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir meresmikan fasilitas Unit Produksi Enzim BPPT-PT Petrosida Gresik, di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Jumat (28/4). Fasilitas Unit Produksi Enzim diharapkan dapat menekan impor dan memenuhi kebutuhan enzim nasional.

Hampir 99 persen kebutuhan enzim (biokatalis) untuk industri masih diimpor dari luar negeri, seperti Cina, India Jepang dan sebagian dari Eropa. Kebutuhan enzim cenderung meningkat setiap tahun dan diperkirakan permintaan pasar global terhadap enzim meningkat sekitar 7,0 persen (2015 - 2020) per tahun.

Konsumsi enzim industri di Indonesia diperkirakan mencapai 2500 ton dengan nilai impor sekitar Rp 200 miliar pada tahun 2017 dengan laju pertumbuhan volume rata-rata 5-7 persen per tahun. Nilai yang cukup besar untuk mendorong upaya kemandirian dalam memproduksi enzim nasional.

"Unit produksi enzim ini direncanakan memiliki kapasitas produksi sekitar 200 ton enzim per tahun," kata Direktur Utama PT Petrosida Gresik Hery Widyatmoko, di Gresik, Jumat (28/4). Hery menambahkan enzim cair dalam bentuk konsentrat diproduksi dengan kapasitas sekitar 3000 liter/hari.

Dengan kapasitas 200 ton per tahun, diharapkan unit enzim ini dapat memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan enzim untuk industri dengan harga yang lebih terjangkau. Hery menuturkan, fasilitas produksi enzim ini mulai dibangun pada pertengahan 2014 sampai akhir 2016 dengan total investasi Rp 12,8 miliar.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengatakan produksi enzim diharapkan bisa menggantikan penggunaan bahan kimia yang selama ini diimpor. Sekarang produksi enzim dalam negeri baru dapat mencukupi 10 persen kebutuhan nasional.

"Ini penting supaya impor enzim untuk kebutuhan nasional bisa ditekan. Impor bisa ditekan kalau barang dalam negeri ada dan harganya kompetitif. Kalau tidak akan ditinggalkan konsumen. Kualitas, ramah lingkungan, dan harga jadi pertimbangan," ujar Nasir.

Nasir melanjutkan produksi enzim dalam negeri akan membantu penghematan biaya sampai dengan 60 persen. Masalah limbah sebagai ekses dari penggunaan bahan kimia juga dapat dikurangi karena bahan pembuatan enzim bersifat ramah lingkungan. Masyarakat harus diedukasi dan dikenalkan agar pemasaran produk dapat berjalan dengan baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement