REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus ini telah melalui proses penyelidikan di KPK sejak 2014 lalu.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN sejak April 2002 ini menyampaikan usulan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002.
Isi usulan tersebut, yakni agar KKSK menyetujui perubahan terkait proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
"Hasil restrukturisasi itu adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable, dan ditagihkan kepada petani tambak," jelasnya di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (25/4).
Sedangkan sisanya, yakni Rp 3,7 triliun, itu tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor BDNI sebanyak Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan.
Namun, pada april 2004, tersangka Syafruddin ini mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap Samsul Nur Salim selaku pemegang saham mayoritas, atas kewajibannya terhadap BPPN.
"Padahal, saat itu seharusnya masih ada kewajiban dari Samsul ini sebesar Rp 3,7 triliun tadi," ujar dia.
Syafruddin dinilai telah melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi melalui jabatannya. Karena telah merugikan keuangan negara sebesarp Rp 3,7 triliun tersebut.
"Karena jabatannya yang dapat merugikan keuangan negara atau ekonomi negara dalam penerbitan SKL kepada saudara Samsul Nur Salim, selaku pemegang saham BDNI pada 2004," katanya.
Syafruddin disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU 31/1999 seperti diubah dengan UU 20/2001 tentang pemberantasan korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.