Sabtu 15 Apr 2017 05:03 WIB

Tuan Guru Bajang, Rasisme: Uang tak Bisa Atur Semua Orang

Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi menyampaikan tausiyah tentang pentingnya sikap saling menghargai antar sesama di Islamic Center NTB, Jumat (14/4).
Foto:
Gubernur NTB M Zainul Majdi (kiri) beserta isteri Erika Zainul Majdi (kanan) memasukkan surat suara usai mencoblos di TPS 1 Lingkungan Pusaka, Mataram, NTB, Rabu (9/7).(Antara/Ahmad Subaidi)

Dan belum habis masa bakti di DPR, terbetik kabar Tuan Guru akan ikut dalam pemilihan gubernur NTB. Secara pribadi-pribadi, kami di Komisi X mendukung pencalonan itu.

Saya yakin, dengan kapasitas dan integritasnya, Tuan Guru bakal terpilih menjadi gubernur NTB. Dengan keyakinan itu, saya berusaha memengaruhi  penguasa PPP untuk mengusung Tuan Guru. Usaha saya gagal, karena penguasa PPP sudah terlanjur jatuh hati kepada calon lain.

Dalam sebuah percakapan, Tuan Guru menyampaikan kepada saya bahwa sesungguhnya bagian terbesar konstituen PPP cenderung kepada dirinya, hanya saja mereka tidak berani mengekspresikan sikapnya lantaran berbeda dengan sikap dengan  penguasa partai. "Mereka perlu isyarat dari orang pusat," ujar Tuan Guru.

Dalam ikhtiar memberi dukungan kongkrit untuk Tuan Guru yang saya hormati itu, sayapun datang ke Pancor sebagai narasumber dalam sebuah seminar pendidikan yang menghadirkan para kepala sekolah NW se-NTB.

Dalam makalah yang saya susun dan dibagikan kepada peserta seminar, saya cantumkan identitas sebagai "Wakil Ketua Fraksi PPP DPRRI." "Yang penting dalam makalah yang dibagikan, ada PPP-nya," ujar Tuan Guru.

Di luar acara seminar, saya bertemu beberapa teman lama sesama aktivis Yogya. Kami berdiskusi panjang mengenai kekurangan dan kelebihan calon gubernur Tuan Guru.

Yang menarik, di masa kampanye itu saya menemukan baliho besar di berbagai sudut kota Mataram berbunyi: "Tuan Guru Bajang Bukan Calon Gubernur NTB", disertai foto yang bukan wajah Tuan Guru yang saya kenal. Ketika saya tanyakan kenapa baliho-baliho yang menyesatkan itu tidak dia bantah dengan baliho serupa, dengan senyum khasnya Tuan Guru menjawab: "Biar saja Bang. Kalau Allah menghendaki, tidak ada yang bisa menghalangi saya menjadi gubernur NTB."

Nah, di dalam pilkada, alhamdulillah, Tuan Guru terpilih menjadi gubernur NTB. Bukan hanya satu periode, tetapi untuk dua periode.

Keterpilihan untuk dua kali masa jabatan, tentu menunjukkan prestasinya sebagai gubernur periode pertama diakui oleh rakyat NTB. Rakyat NTB tidak hanya mengakui prestasi Tuan Guru, juga mencintai pribadinya. Oleh karena itu, perkataannya didengar oleh rakyatnya.

Suatu saat, sejumlah tokoh masyarakat di NTB bermaksud mendirikan sebuah aliansi untuk menolak sebuah ajaran yang dianggap sesat. Dengan pengetahuannya yang luas mengenai Islam, Tuan Guru memberi nasihat agar niat itu diurungkan. Pertama, karena label sesat untuk aliran itu masih debatable, bahkan sejak berabad lalu. Kedua, aliran itu bukan aliran mainstream.

"Mengapa aliran mainstream harus takut kepada yang bukan mainstream?" Menurut Tuan Guru, jika kita sungguh-sungguh menanamkan pemahaman Islam yang benar, aliran apapun tidak akan berkembang di NTB.

Tuan Guru yakin, akidah yang benar dan dirawat dengan baik oleh mayoritas umat Islam, niscaya akan melahirkan harmoni.

Demi menjaga harmoni, seperti diceritakan oleh seorang tokoh muda NTB di Jakarta, Tuan Guru tidak segan untuk menelepon aktivis muda itu. "Kalau gubernur yang menelepon, kami mau apa lagi," ujar seorang aktivis muda NTB yang sering menggerakkan demo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement