Sabtu 15 Apr 2017 05:03 WIB

Tuan Guru Bajang, Rasisme: Uang tak Bisa Atur Semua Orang

Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi menyampaikan tausiyah tentang pentingnya sikap saling menghargai antar sesama di Islamic Center NTB, Jumat (14/4).
Foto: Foto: Humas Pemprov NTB
Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi menyampaikan tausiyah tentang pentingnya sikap saling menghargai antar sesama di Islamic Center NTB, Jumat (14/4).

Oleh: Lukman Hakiem*

Anak muda bertubuh tinggi semampai, berkulit kuning, dan berwajah tirus itu bernama Zainul Majdi. Saya mengenalnya ketika bersama-sama bertugas di Komisi X DPR-RI periode 2004-2009. Saya dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Zainul dari Partai Bulan Bintang (PBB).

Belakangan saya tahu, Zainul adalah cucu pendiri Nahdhatul Wathan (NW), Allahuyarham Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. NW adalah organisasi Islam terbesar di NTB, dan salah satu anggota istimewa Partai Masyumi. Oleh karena itu logis belaka, Zainul menjadi anggota DPR mewakili PBB --partai yang oleh para pendirinya dimaksudkan untuk melanjutkan cita-cita perjuangan Masyumi.

Mengetahui Zainul cucu Syaikh Zainuddin, sayapun mengubah panggilan kepadanya menjadi Tuan Guru. Panggilan itu saya "umumkan secara resmi" dalam suatu rapat kerja Komisi X dengan Menteri Pendidikan Nasional. Sejak itu, seluruh anggota Komisi X dan mitra kerjanya, baik formal maupun informal, memanggilnya Tuan Guru.

Mendapati perubahan nama panggilan, Tuan Guru Zainul Majdi, tidak berubah sikap. Dia tetap dengan gayanya yang khas: sedikit bicara, senyum di kulum jika ada sesuatu yang lucu, kritis terhadap hal-hal yang prinsipil, tidak pernah menjaga jarak dalam pergaulan, dan santun.

Santun! memang itulah kata kunci selama saya mengenal Tuan Guru.

Dalam suatu kunjungan kerja, saya dan M. Yasin Kara dari Partai Amanat Nasional (PAN) menggoda Tuan Guru dengan pertanyaan dan pernyataan provokatif mengenai Islam. Dengan tetap pada sikap santunnya, Tuan Guru menanggapi provokasi kami dengan sikap tegasnya yang prinsipil.

Kadang-kadang, jika "provokasi" sudah dianggap keterlaluan, Tuan Guru memasang wajah serius. "Jangan begitu, Bang." Dan kami pun sama-sama tertawa.

Sebagai anggota Komisi X, saya ingat, Tuan Guru gigih sekali memperjuangkan agar Mendiknas membantu pembangunan (atau pemugaran?) asrama mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir. Bukan karena Tuan Guru pernah dan saat itu sedang menyelesaikan program doktor di Mesir, tapi karena jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir tergolong yang jumlahnya cukup banyak.

Karena hujjah yang diajukan masuk akal, Komisi X mendukung usulan Tuan Guru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement