Selasa 11 Apr 2017 11:43 WIB

Sengkarut Novel Baswedan, Bau Durian, dan Miryam

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Novel Baswedan di antara para jurnalis.
Foto: Raisan Al Farisi/Republika
Novel Baswedan di antara para jurnalis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Novel Baswedan memang menjadi perbincangan yang hangat pada beberapa bulan terakhir. Penyidik yang telah bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2007 ini muncul lagi ke publik setelah namanya disebut dalam persidangan kasus korupsi KTP-el pada 23 Maret 2017 lalu.

Saat itu, sidang menghadirkan saksi yang salah satunya anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura pada periode 2009-2014, Miryam S Haryani. Miryam mengaku tertekan dan diancam saat diperiksa Novel dan dua penyidik lain di KPK pada awal Desember 2017.

Baru duduk, Miryam merasa mendapat tekanan dari Novel. Miryam mengatakan, Novel saat itu menyatakan bahwa seharusnya dia sudah ditangkap pada 2010 lalu. "Waktu pas saya duduk, dia sudah mengomong gini, 'Ibu, 2010 itu mestinya sudah saya tangkap.' Habis itu saya ditekan-tekan lagi. Saya tertekan sekali waktu disidik," kata Miryam di persidangan.

Majelis hakim pun membuat keputusan untuk memanggil tiga penyidik yang disebut Miryam, yakni Ambarita Damanik, Irwan Susanto dan Novel Baswedan, ke persidangan berikutnya. Pada persidangan Kamis 30 Maret 2017, Novel selain dituduh Miryam telah menekannya, lalu dianggap telah melakukan pembiaran terhadap Miryam yang sedang periksa di KPK. Perut Miryam mengaku mual karena mencium aroma buah Durian pada diri Novel. 

 

Miryam pun harus ke kamar mandi untuk mengatasi mualnya itu. Namun, saat berpapasan dengan Novel, menurut pengakuan Miryam, Novel tidak menggubrisnya dan membiarkan Miryam mengatasi mualnya itu seorang diri. "Saya malah dibiarin aja sama Pak Novel," ucap Miryam kepada majelis hakim.

Dalam persidangan, Novel pun mengklarifikasinya. Novel menyatakan aroma Durian yang tercium Miryam itu adalah roti rasa Durian yang memang dimakan Novel untuk makan siang. Baunya pun tidak menyengat seperti yang dikatakan Miryam.

Soal pembiaran terhadap Miryam, Novel mengatakan tidak melihat Miryam dalam kondisi sakit ataupun mual. Saat itu, lanjut Novel, Miryam ingin ke kamar mandi lalu dipersilakan oleh Novel. 

Di persidangan itu, Novel menuturkan Miryam memang telah ditekan oleh rekan-rekannya dari komisi III DPR RI sebelum diperiksa penyidik di kantor KPK pada 1 Desember 2016. "Saat itu saksi (Miryam) saat diperiksa pertama kali, cerita tentang ancaman yang datang kepada dirinya," kata Novel menjelaskan awal mula pemeriksaan pertama terhadap Miryam.

Novel juga memaparkan Miryam memang telah mengetahui akan dipanggil KPK sebulan sebelum waktu pemeriksaan pertama. Miryam mengetahuinya dari rekan-rekan anggota dewan yang lain. Kemudian, lanjut dia, Miryam disuruh anggota dewan dari komisi III saat ini, untuk tidak mengatakan fakta sebenarnya terkait penerimaan dan pendistribusian uang korupsi KTP-el itu.

"Dia disuruh oleh anggota DPR, disebutnya komisi III, untuk tidak mengakui fakta-fakta perbuatan menerima dan membagi uang itu. Itu diminta. Bahkan kurang lebihnya, yang saya ingat, yang bersangkutan (Miryam) kalau sampai ngaku akan dijeblosin, kurang lebih begitu," kata dia.

Selain persoalan tersebut, Novel juga sempat punya persoalan di internal KPK sendiri. Pada pekan ketiga Maret 2017, tepatnya 21 Maret, Novel menerima surat peringatan (SP) 2 dari pimpinan KPK. SP 2 ini terkait protes yang dilayangkan Novel kepada Direktur Penyidikan Aris Budiman, soal pengangkatan kepala satgas penyidikan KPK dari instansi Polri.

Saat itu Novel memprotes bahwa perekrutan penyidik yang langsung didatangkan dari Polri tanpa mengikuti prosedur perekrutan. Menurut dia, jika ini dilakukan maka bisa merusak integritas penyidik KPK. Karenanya, perekrutan harus tetap mentaati prosedur yang berlaku. Lagi pula, menurut Novel, penyidik KPK punya kapasitas yang mumpuni untuk mengisi jabatan kasatgas penyidikan tersebut. 

Namun, menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, Novel mengeluarkan protes dalam surat elektronik dengan bahasa tak sopan dan mengandung unsur penghinaan sehingga diterbitkan SP 2 tersebut. Pengeluaran SP 2 ini didasarkan pada rekomendasi pengawas internal KPK. Namun, Wadah Pegawai KPK yang diketuai Novel sendiri menilai penerbitan SP 2 dilakukan sepihak karena tanpa ada konfirmasi terlebih dulu kepada Novel.

Agus juga mengatakan usulan pengangkatan tersebut pun sebetulnya belum disampaikan kepada pihak Polri. Artinya, Agus hanya baru menerima usulan dari Dirdik Aris Budiman dan belum memberikan persetujuan.

Lantas, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan pada 31 Maret lalu mengeluarkan pernyataan bahwa pimpinan KPK setuju membatalkan SP 2 untuk Novel. Alasan pembatalan ini, kata dia, untuk menjaga kondusifitas internal KPK dan supaya proses penegakan hukum terkait kasus korupsi dapat terus berjalan lancar. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement