REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak-anak harus dilindungi dari berbagai pengaruh negatif, terutama propaganda radikalisme dan terorisme. Untuk itu, peran keluarga, lingkungan dan pemerintah harus lebih diintesifkan. Keluarga dalam urusan pola asuh, sementara pemerintah wajib melindungi anak dari sistem pendidikan dan perundangan.
"Sebenarnya saya sudah sering bicara tentang ini yang ke mana-mana. Tapi itu bermula dari pola asuh yang menjadi sumber agar anak tidak berpikir radikal, juga kognitif atau kemampuan anak menyerap ilmu pengetahuan. Itulah yang menjadi cikal bakal radikalisme di kalangan anak-anak," ujar psikolog Tika Bisono di Jakarta, Jumat (24/3).
Intinya, rumah (keluarga) adalah faktor utama untuk mencegah dan melindungi anak dari virus radikalisme, serta paham negatif lainnya. Menurutnya, langkah paling baik adalah pola asuh demokrtasi, dimana anak diberi kebebasan untuk mengemukakan ide dan pendapatnya. Sayang, kalau dihitung tidak banyak keluarga yang menerapkan pola demokratis itu.
"Kalau dihitung berapa juta atau berapa miliar rumah yang menerapkan pola ini. Inginnya sih diatas 50 persen. Tapi ternyata nggak kan. Pola asuh ini adalah pola yang paling mendasar," imbuh Tika yang mantan penyanyi pop era 1980-an ini.
Selama ini banyak orang tua gagal dalam proses mendidik anak. Hal itu karena orang tua itu hasil dari kegagalan pendidikan dari orang tua sebelumnya. Intinya proses memilih itu harus berdasarkan atas asas-asas misalnya knowledge (pengetahuan), demokratis, saling menghargai, saling menerima, ikhlas, bekerja sama, dan lain-lain. Kalau ada orang tua gagal dalam pola asuh yang menerapkan asas-asas ini, tentunya akan berlanjut ke anaknya.
Setelah itu, pengaruh anak sangat besar datang dari lingkungannya, juga nilai-nilai dari luar. Namun dari faktor-faktor itu yang akhirnya membuat anak bisa memilih dengan baik itu adalah dari rumah. Bila dari sejak dari rumah, anak sudah mendapatkan kekebalan, tentu akan lebih mudah meredam pengaruh lingkungan dan dari luar.
Terkait radikalisasi anak-anak melalui dunia maya, Tika berpendapat bahwa orang tua harus terjun ke filosofi gawai (gadget). Artinya orang tua tidak boleh gaptek (gagap teknologi), tapi orang tua juga harus paham fitur-figur, gadget, internet, serta konten-kontennya. Dari paham itu, orang tua bisa tahu dampak dari fitur dan internet tersebut karena anak tidak mungkin belajar dampak dari gawai karena dia hanya pengguna. Ironisnya banyak orang tua yang justru gaptek.
Tika menilai gawai, internet, dan media sosial yang tengah populer seiring perkembangan teknologi komunikasi yang makin canggih, bisa menjadi celah bagi pengaruh luar masuk ke pikiran penggunanya sampai ke hati nuraninya. Dalam hal ini keluarga juga harus mengikuti perkembanganzaman, meski faktanya banyak orang tua yang gaptek.
"Kalau yang memagari nggak ada gara-gara faktor intelektualitasnya nggak sampai, lebih baik nggak usah ber-gadget ria. Untuk hal ini saya harus menyalahkan keluarga," ujar Tika
Di samping itu, lanjut Tika, kebijakan negara dan pemerintah juga sangat besar. Apalagi beberapa waktu lalu ada beberapa anak Indonesia yang ikut dideportasi bersama orang tuanya dari Turki. Mereka dideportasi karena akan menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok radikal ISIS.
Untuk yang satu ini, Tika menilai harus ada penanganan khusus buat anak-anak yang deportasi itu. Dalam pandangannya, ia yakin kepergian mereka ke Suriah bukan kemauan mereka, tapi kemauan orang tuanya. "Harus ada pendampingan psikososial untuk mengembalikan cara pandang agar mereka bisa kembali berpikir rasional," jelas Tika.
Beberapa waktu lalu, 75 WNI dideportasi dari Turki karena akan bergabung dengan ISIS. Sebagian dari mereka adalah anak-anak. Mereka kini berada dalam penanganan Departemen Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk dilakukan deradikalisasi.