REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Menyelesaikan kasus kejahatan seksual lewat jalan kekeluargaan dinilai aktivis tidak mendidik. Menurut Kepala Woman Crisis Center (WCC) Dian Mutiara, Sri Wahyuningsih, pelaku kejahatan seksual harus diseret ke ranah hukum untuk menimbulkan efek jera.
Apabila pelaku masih di bawah umur maka yang dapat ditempuh adalah jalur semihukum yakni diversi. "Selama ini masih banyak penyelesaian kasus yang melalui musyawarah, salaman, lalu selesai," ujar Wahyu dalam sebuah diskusi yang digelar di Universitas Brawijaya pada Jumat (24/3).
Ia berpendapat jumlah korban kejahatan seksual atau KDRT yang berani membawa kasusnya ke ranah litigasi meningkat perlahan. Berdasarkan data yang masuk WCC Dian Mutiara, pada 2010 jumlah kasus yang diproses ke ranah hukum masih nol persen.
Tiga tahun kemudian yakni pada 2013 naik jadi 20 persen, dan pada 2016 sebesar 30 persen. "Walau naiknya perlahan harus kita syukuri karena artinya kesadaran masyarakat makin tinggi," ucapnya.
Sejumlah faktor melatarbelakangi keengganan korban melaporkan pelaku. Antara lain karena pelaku merupakan orang dekat atau korban merasa malu apabila kasusnya terekspos.
Wahyu membeberkan data sepanjang 2016 lembaganya menerima 131 aduan meliputi kejahatan seksual, KDRT, dan perdagangan manusia di wilayah Malang Raya. Sementara pada kuartal pertama 2017 ia telah menerima aduan 21 kasus. Ia menyebut sebanyak 80 persennya adalah aduan yang terjadi di Kota Malang.