Selasa 21 Mar 2017 19:16 WIB

Apakah Non-Muslim Boleh Menjadi Pemimpin Daerah? Ini Jawaban Saksi

Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang yang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang yang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Ushul Fiqih IAIN Raden Intan Lampung Ahmad Ishomuddin membenarkan soal pernyataan presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyebutkan bahwa surah al-Maidah ayat 51 tidak mengatur larangan memilih pemimpin non-Muslim.

"Benar, pada masa Rasulullah SAW ayat itu sesungguhnya untuk melindungi umat Islam dan ajaran Islam dari orang-orang yang membencinya yaitu orang Yahudi dan orang Nasrani yang saling bekerja sama dan bersatu untuk memusuhi Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Jadi, itu urusan agama bukan pemilihan umum," kata Ahmad saat memberikan keterangan dalam sidang ke-15 Ahok di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3).

Hal tersebut sempat diungkapkan oleh Gus Dur saat mengikuti kampanye untuk mendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Eko Cahyono saat Pilkada Bangka Belitung 2007. "Apakah non-Muslim bisa menjadi gubernur di Indonesia?" kata Humphrey Djemat anggota tim kuasa hukum Ahok.

"Iya asal menang," jawab Ahmad. "Termasuk di Jakarta?" tanya Humphrey kembali. "Iya asal menang," kata Ahmad lagi.

Ia pun menyatakan, berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan untuk menduduki jabatan pemerintahan tanpa pengecualian. "Sehingga mempunyai makna bahwa baik Muslim maupun non-Muslim sama-sama memiliki hak politik, salah satunya memiki hak untuk menjadi pemimpin di negara sendiri," katanya.

Dalam persidangan itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sempat mempertanyakan terkait pekerjaan ahli sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan rais syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

"Saya hadir di tempat ini bukan mewakili PBNU bukan mewakili MUI juga karena saya juga salah satu wakil ketua Komisi Fatwa MUI dan juga bukan mewakili instansi tempat saya bekerja, saya hadir sebagai pribadi," kata Ahmad.

Baca juga,  Ponpes Al Anwar Lepas Diri dari Keputusan GP Ansor Soal Pemimpin Non-Muslim.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement