Selasa 21 Mar 2017 15:40 WIB

Di Sidang Penistaan Agama, Saksi Ahli: Alquran tak Bisa Bohong

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang yang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang yang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar lingustik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rahayu Surtiarti, menjadi saksi ahli bahasa meringankan dalam sidang lanjutan ke-15 kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang digelar di Auditorium Kementrian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3). Kepada majelis hakim, kata Rahayu, dalam pidato Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September lalu, tidak ada yang menunjukkan Alquran adalah sumber kebohongan.

"Karena Alquran tidak bisa bohong. Tapi orang bisa menggunakan apa pun (termasuk Alquran) untuk berbohong," kata Rahayu di dalam ruang persidangan, auditorium Kementrian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).

Menurut dia, pesan dalam pidatonya, Ahok ingin mengungkapkan ada orang yang menggunakan surah al-Maidah ayat 51 untuk membohongi. Rahayu menjelaskan, maksud Ahok dalam kata 'dibohongi pakai' adalah merujuk kepada orang-orang yang sengaja menggunakan surah al-Maidah.

Hal tersebut diungkapkan berdasarkan pengalaman Ahok saat berada di Bangka Belitung. Banyak lawan politiknya menyebarkan selebaran yang menggunakan surah al-Maidah agar tidak memilih pemimpin Muslim. "Karena pada pengalaman sebelumnya, tertulis di buku Merubah Indonesia, terdakwa sudah cerita ada orang-orang yang menggunakan ayat tersebut untuk maksud tertentu," kata Rahayu.

Jaksa penuntut umum pun langsung menanyakan apakah terdapat unsur kampanye dalam pidato pejawat tersebut. Menjawab jaksa, Rahayu menilai, tidak adanya unsur kampanye seperti yang dituduhkan. "Meski masa kampanye tapi tidak ada sama sekali kalimat yang memberi kesan bahwa itu berkampanye," kata Rahayu.

Rahayu menilai, pidato pejawat itu membahas tentang pemaparan program sosialisasi budi daya perikanan. "Justru yang dikampanyekan adalah program perikanan. Pembicara hanya meyakinkan pendengarnya dengan sejumlah kata-kata yang dianggap menguatkan argumennya dengan kalimat pengandaian," ujar Rahayu.

Pengandaian tersebut, kata dia, sebagai penegasan guna menyampaikan pesan sesungguhnya saat Ahok berpidato di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. "Ketika orang berpidato, dia bebas memberikan ujaran sebagai bagian dari pidato yang membahas itu. (Surah) Al-Maidah hanya pengandaian. Kalau dihilangkan, bisa jadi kurang meyakinkan," kata Rahayu.

Dia juga tak menampik bila terdakwa memang merasa dirinya benar dalam menyampaikan pidato tersebut. "Dia (terdakwa) merasa benar dan orang lain tidak benar?" tanya Jaksa. "Iya," jawab Rahayu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement