REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai hak angket yang diwacanakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sebenarnya ingin menguji apakah partai-partai politik yang anggotanya diduga terlibat korupsi KTP Elektronik (KTP-el), memiliki nyali kebenaran dan kejujuran. "Sebab hampir semua anggota parpol tersebut membantah menerima aliran dana korupsi tersebut," kata Nasir di Jakarta, Selasa (14/3).
Dia menjelaskan logikannya jika tidak menerima, maka bentuk dan gulirkan hak angket untuk mengetahui secara rinci apakah ada unsur lain selain penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Menurut dia, pembentukan dan menggulirkan hak angket adalah cara DPR untuk memastikan dan menjaga keseimbangan serta agar tidak terjadi pembusukan terhadap DPR itu sendiri. "Dalam suasana seperti ini tentu tudingan negatif selalu diarahkan ke DPR," ujarnya.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjelaskan alasan dia mengusulkan penggunaan angket kasus KTP-el yang menyeret sejumlah pejabat negara, petinggi partai politik dan anggota-anggota dewan. Fahri mengungkapkan hak angket dibutuhkan untuk menggali keterangan soal kronologis masuknya nama-nama tokoh politik dalam berkas dakwaan dua mantan pejabat Kemendagri.
"Menurut saya itu perlu ada klarifikasi terbuka, yaitu tentang bagaimana caranya nama-nama itu masuk dalam list dan apa yang sebetulnya terjadi di masa lalu," kata Fahri di Jakarta," Senin.
Fahri melihat kasus KTP-el tergolong unik dan tidak yakin korupsi sebesar Rp 2,3 triliun itu merupakan hasil //kongkalikong antara anggota-anggota DPR dan pemerintah.
Dia menilai munculnya korupsi penambahan anggaran proyek KTP-el terjadi saat anggota DPR dan Menteri Dalam Negeri periode lalu Gawaman Fauzi sama-sama baru dilantik. "Karena yang unik di kasus ini kan kasusnya terjadi persis setelah anggota DPR periode lalu dilantik. APBN-P sebetulnya. Mulainya November 2009, artinya anggota DPR periode lalu persis pada awal dilantik dan bisa dibilang Pak Gamawan juga baru dilantik," katanya.
Dia mengaku heran bagaimana Gamawan dan anggota-anggota DPR bisa membuat kesepakatan bersama untuk melakukan korupsi dengan mengatur penambahan anggaran KTP-el menjadi Rp 5,9 triliun.