Sabtu 11 Mar 2017 17:56 WIB

Ketua RT Bantah Jenazah Nenek Hindun tak Dishalatkan karena Perbedaan Pilihan Politik

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus Yulianto
Neneng (46) putri bungsu almarhum nenek Hindun (78), warga Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jaksel.
Foto: amri amrullah
Neneng (46) putri bungsu almarhum nenek Hindun (78), warga Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jaksel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Informasi terkait jenazah almarhum nenek Hindun (78) warga RT 09/RW 05, Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta, yang tidak dishalatkan di Musala Almukminun karena alasan politik, dibantah Ketua RT setempat.

Ketua RT 09/RW 05, Abdul Rachman mengatakan, tidak benar informasi yang berkembang di media bahwa jenazah almarhumah ditolak disholatkan di Musala Almukminun karena perbedaan pilihan politik. Ia mengungkapkan, jenazah dishalatkan di rumah karena memang kondisi waktu dan cuaca saat itu.

"Almarhumah meninggal pukul 13.30 WIB. Prosesi pemandian dan pengafanan pukul 17.30 WIB. Jadi waktunya mepet jelang Magrib dan kondisinya hujan," ujarnya kepada Republika.co.id di kediamannya, Sabtu (11/4).

Setelah mengetahui nenek Hindun meninggal Selasa (7/3), Ia yang saat itu sedang bekerja langsung meminta bantuan warga seadanya kepada keluarga almarhumah. Setelah pulang, ia bersama sekretaris RT, menyiapkan berbagai kebutuhan pemakaman mulai surat menyurat, menggerakkan warga untuk membantu pembelian papan nisan dan kain kafan hingga meminta dana bantuan sosial ke warga-warga.

Bahkan, wargapun berinisiatif menghubungi ambulans dari partai-partai ke Musala Almukminun. Syamsul Bahri, warga RT 05 mengatakan, warga menelpon ambulans dari partai Golkar, PDI Perjuangan dan Gerindra. "Hanya ambulans dari partai Gerindra yang bisa datang ke Musala Almukminun," ujarnya kepada wartawan.

Usai pemandian dan pengafanan, jenazah langsung dishalatkan di rumah duka bersama keluarga dan warga. "Jam setengah enam, selesai pengkafanan langsung shalat ke mobil ambulans (jenazah) berangkat. Karena sore, macet, agak terhambat selesai hujan lebat juga, jadi ada hambatan menuju ke kuburan," kata Ketua RT menimpali.

Abdul Rahman pun membantah bila hanya almarhumah nenek Hindun saja yang tidak dishalatkan di musala. Semua warga di sini kalau ada kejadian meninggal bisa dishalatkan di rumah atau di musala. Tapi, ia menegaskan, persoalannya adalah waktu pemakaman yang tidak bisa dimakamkan di atas jam tujuh malam.

Kalau lewat, tentu akan dimakamkan esok harinya, dan keluarga tidak mau dimakamkan besok. Karena mendesaknya waktu itulah, menurutnya, jenazah disegerakan untuk dishalatkan di rumah duka bukan di musala. "Jadi nggak ada tuh yang dikatakan ditolak, kita semua jalankan sesuai prosedur bila ada warga yang meninggal," katanya.

Terkait adanya spanduk menolak penolakan jenasah pendukung penista agama di musala, Ketua RT mengaku, itu hanya inisiatif suara warga semata. Namun, ia menegaskan, sejatinya warga tidak akan mungkin menolak membantu dan menyalatkan warga  yang meninggal. Karena warga sudah akrab di sini, bahkan ia menganggap nenek Hindun seperti orang tua karena termasuk yang dituakan di RT sini. Spanduk itu pun sudah diturunkan sejak Jumat malam atas perintah dari kelurahan.

Sayangnya keterangan Ketua RT ini berbeda versi dengan yang disampaikan Sunengsih alias Neneng (47) putri bungsu nenek Hindun. Menurutnya, setelah ibunya meninggal, pengurus musala, Ustaz Muhammad Safi'i mengatakan, tidak ada yang menyalatkan jenasah di musala karena tidak ada orang yang bantuin. Akhirnya shalat jenasahpun dilakukan rumah dengan 10 orang jamaah, empat orang putri almarhum satu orang cucu, Ustaz Syafii dan empat orang warga.

Dan yang mengurusi jenazah almarhumah pun adalah pihak keluarga termasuk liang pemakaman di TPU Menteng Pulo. Ia pun membantah terkait alasan Pak RT tidak menyalatkan di musala karena hujan.

"Saya bingung, kok bisa-bisanya dia bilang hujan deras di mana pada saat itu? Dia tidak ada di sini, dia selesai ketemu saya ketika ngasih uang paguyuban antar-RT jumlahnya Rp 1,1 juta itu semua RT dirembukin kasih saya itu benar," kata Neneng.

Soal pemberitaan penolakan jenazah nenek Hindun karena beda pilihan politik dukung Ahok-Djarot. Neneng mengakui, memang sang ibu terlihat memilih Ahok-Djarot saat Pilkada DKI 15 Februari lalu. Karena kondisi kesehatan petugas TPS mendatangi rumah almarhumah dan membuka surat suara di hadapan nenek Hindun. Saat itulah ia mengakui petugas TPS dan warga mengetahui pilihan politik nenek Hindun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement