REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Masyarakat belum memahami tugas dan kewenangan Ombudsman dan memaknai rekomendasi institusi itu sebagai saran biasa, kata dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang Dyah Andriantini Sintha Dewi.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, kata Dyah di Magelang, Kamis (2/3), membawa konsekuensi bahwa rekomendasi Ombudsman adalah wajib dengan adanya ancaman pengenaan sanksi administrasi bagi yang melalaikannya.
"Namun, dalam kenyataannya tidak setiap rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh terlapor dan/atau atasan terlapor," kata Dyah yang baru saja meraih gelar doktor dari Universitas Diponegoro dengan disertasinya berjudul "Model Pelaksanaan Rekomendasi Ombudsman dalam rangka Mewujudkan Keadilan Substanstif di Indonesia".
Menurut dia, hal itu disebabkan masih adanya perbedaan pemahaman atas makna rekomendasi. Sebagian terlapor atau atasan terlapor masih menganggap rekomendasi itu sebuah saran biasa.
Bersumber dari kegalauan itulah, dia mengadakan penelitian untuk mengetahui model pelaksanaan rekomendasi Ombudsman yang efektif dan dituangkan dalam disertasinya yang disampaikan pada Ujian Promosi Doktor Ilmu Hukum di Gedung Pascasarjana Undip Semarang, Rabu (1/3).
"Ada tiga pertanyaan mendasar dalam disertasi saya, yakni mengapa model pelaksanaan rekomendasi Ombudsman belum dipatuhi sepenuhnya?" katanya.
Berikutnya, bagaimana dampak model pelaksanaan rekomendasi Ombudsman yang tidak dilaksanakan terhadap akses keadilan substanstif pihak terkait? "Selanjutnya, bagaimana model pelaksanaan rekomendasi Ombudsman untuk mewujudkan keadilan susbtanstif di Indonesia?" katanya.
Disertasi dengan metode penelitian kualitatif melalui paradigma post-positivisme yang dikolaborasi dengan pendekatan sociolegal, ibu dua anak ini memvalidasi data dengan menggunakan triangulasi sumber.
Menurut dia, dengan memaknai rekomendasi Ombudsman sebagai saran biasa maka berdampak tidak dilaksanakanya rekomendasi dan pelapor tidak segera menerima pelayanan publik yang baik sebagai haknya.
Ia menawarkan model kolaborasi integrasi partisipasi (KIP) sebagai model untuk pengawasan rekomendasi Ombudsman yang dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat.
Adapun rekomendasi yang ditawarakan ada dua, yakni kepada lembaga pembentuk UU dan kepada Ombudsman.
Kepada lembaga pembentuk UU, dia merekomendasikan adanya penambahan Ayat (5) Pasal 38 UU No. 37/2008, yakni atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman atau hanya melaksanakan sebagian akan dijatuhi hukuman oleh atasan yang lebih tinggi yang berpuncak pada Menpan RB jika yang bersangkutan adalah aparatur sipil negara, dan oleh DPR atau DPRD apabila yang bersangkutan adalah pejabat politik.
Ia menuturkan kepada Ombudsman pihaknya merekomendasikan apabila sebelum rekomendasi dikeluarkan terlebih dahulu ada rekomendasi sementara yang diajukan kepada atasan terlapor.
"Jika atasan terlapor menyetujui dan melaksanakan rekomendasi sementara itu, laporan akan ditutup dan dinyatakan selesai. Namun, bila tidak disetujui, dikeluarkan rekomendasi Ombudsman yang bersifat final yang disertai sanksi administratif bagi yang tidak melaksanakan atau hanya melaksanakan sebagian," kata doktor ke-11 Universitas Muhammadiyah Magelang ini.