REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Miftachul Akhyar menjadi saksi ahli pertama yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di sidang ke-11 kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. JPU menghadirkan Miftachul sebagai saksi ahli agama.
Kepada Majelis Hakim, Miftachul menyayangkan pidato Gubernur DKI Jakarta, Ahok yang menyinggung surat al-Maidah ayat 51 saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu. Menurutnya terdapat indikasi penyesatan terhadap umat Islam dalam pidato Mantan Bupati Belitung Timur itu.
Indikasi hukum penodaan Alquran terdapat pada kalimat "pakai surat al-Maidah ayat 51" yang diucapkan Ahok. Padahal menurut Miftachul ayat tersebut biasanya disampaikan oleh para ulama.
"Bagi mereka yang bukan ulama karena dapat ilmu dari ulama. Ada indikasi penyesatan umat. Jadi itu ada arti penyesatan terhadap umat. Orang yang sudah percaya, diajak jangan percaya terhadap ayat ini. Semula yang beriman menjadi tidak beriman dan meyakini," kata dia.
(Baca juga: Pengacara Ahok Kembali tidak akan Bertanya Pada Saksi MUI)
Terlebih, Ahok yang bukan merupakan orang Islam dengan berani menafsirkan isi dari Alquran. Padahal, orang Islam pun tidak boleh sembarangan menafsirkan isi dari Alquran. "Hanya ahli agama saja yang boleh menafsirkan. Itu pun, masih bisa diperdebatkan," ucap dia.
Selain itu, kata 'dibohongi' pakai surat al-Maidah ayat 51 merupakan bukti mantan politisi Gerindra itu sudah menistakan agama Islam. "Di bagian itu sudah masuk penistaan agama. Karena menganggap al-Maidah itu seakan-akan membohongi," kata dia.
Dengan adanya kasus ini, sudah menjadi tugas ulama sebagai ahli agama untuk meluruskan orang-orang yang sesat dan menyesatkan tersebut seperti kasus Ahok. "Jadi ada kewajiban ulama, kalau tahu ada penyesatan macam itu, wajib ulama memberikan penjelasan, jadi kami dalam rangka jadi ahli untuk berikan penjelasan karena ada penyesatan itu," tuturnya.