REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jakarta, Bivitri Susanti, menyebut Jaksa Agung M Prasetyo tidak membaca UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menanggapi pengaktifan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta kembali.
"Mungkin dia tak membaca UU Pemda, tapi hanya berasumsi. Karena sering dalam banyak UU, memang menunggu putusan hukum tetap," kata dia dalam diskusi bertema 'Perkara Non Aktif Kepala Daerah Terdakwa' di Jakarta, Sabtu (18/2).
Bivitri mengingatkan, dalam UU Pemda dijelaskan pejabat publik harus membuat keputusan administrasi negara yang punya konteks hukum. Namun, apabila pejabat publik itu berstatus terdakwa, maka harus ada unsur kehati-hatian dalam menetapkan kebijakan.
"Makanya begitu terdakwa, dihentikan sementara. Nah siapa yang menggantikan, ya wakilnya, Pak Djarot sebagai Plt (pelaksana tugas, Red)," ujar dia. Sebelumnya, Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan penghentian sementara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta baru bisa dilakukan jika sudah ada vonis dari hakim.
Sementara itu, Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih berujar, pihaknya segera mendalami kasus Ahok apabila terbukti adanya mal administrasi. Sebab, mal administrasi akan berdampak pada kepentingan publik. "Apakah seseorang yang statusnya terdakwa bisa membuat kebijakan-kebijakan terkait pada pelayanan publik. Apakah patut dibiarkan tetap menjabat," jelasnya.
Alamsyah menegaskan, jangan kaget apabila suatu saat Ombudsman RI mempercepat penghentian sementara. Dia mengatakan akan segera mengundang ahli hukum untuk menerangkan duduk persoalan Pasal 83 UU 23 Tahun 2014, terkait dengan Ahok yang kembali menjabat sebagai Gubernur. "Kalau merugikan publik dari segi pelayanan, itu ranahnya kami," tutur dia.
Sementara itu, guru besar Ilmu Pemerintahan IPDN Djohermansyah Djohan mengusulkan, Ahok tidak mengambil atau menandatangai kebijakan yang sifatnya strategis. Sebaliknya, hal itu dapat dilimpahkan pada Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat.