REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua KPU RI Juri Ardiantoro mengimbau seluruh lembaga survei yang terverifikasi menjadi mitra dalam hitung cepat hasil pemungutan suara pilkada serentak 2017 tidak memaparkan hasil yang menyesatkan masyarakat. Penyelewengan yang dilakukan oleh lembaga survei dapat berujung pada sanksi etika.
Juri mengakui, jika hasil hitung cepat memiliki beragam versi. Perbedaan itu dapat menimbulkan pertanyaan dan peluang gesekan sosial di masyarakat. "Menyikapi hal ini, kami punya pedoman sikap. Pertama, jika ada perbedaan hasil, maka kita akan menunggu hasil yang paling benar. Kedua, lembaga survei harus ingat bahwa mereka wajib menggunakan metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan," ujar Juri di kantor KPU, Rabu (15/2).
Jika lembaga survei melakukan penyelewengan, kata dia, lembaga tersebut harus mempertanggungjawabkan kepada asosiaasi di mana lembaga itu bernaung. Namun, jika lembaga survei tidak bergabung dalam asosiasi, maka KPU akan melakukan klarifikasi kepada lembaga survei itu secara independen.
"Memang sanksinya lebih kepada etik, bukan pidana. Dalam pemilihan presiden (pilpres) yang lalu pun sudah pernah ada sanksi yang dijatuhkan kepada lembaga survei karena hasilnya dianggap menyesatkan," ujarnya.
Sementara itu, saat disinggung soal peluang gesekan sosial akibat hasil hitung cepat, Juri meminta masyarakat tidak bereaksi berlebihan. Menurut dia, hasil hitung cepat perolehan suara oleh beberapa lembaga hanya merupakan gambaran hasil pilkada.
Meski setiap lembaga survei punya metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, masyarakat diminta tetap memantau hasil akhir penghitungan pilkada yang akan diinformasikan oleh KPU. "Kami minta masyarakat dan setiap pendukung paslon tidak memancing keributan akibat ragam hasil survei. Tunggu hasil real count dari KPU yang waktunya sudah ditetapkan," katanya.
(Baca Juga: Quick Count SMRC: Ahok dan Anies Bersaing Ketat)