Kamis 09 Feb 2017 08:34 WIB

Ahok, Pemilukada, dan Selebritas Media Sosial

 Baliho tiga pasang calon Pilkada DKI Jakarta terpasang di kawasan Tugu Tani, Jakarta, Ahad (20\11).
Foto:
Debat Cagub-Cawagub Pilkada DKI 2017 (ilustrasi)

Sebelum masuk ke medan pemilukada, Ahok dicitrakan nyaris tanpa cela. Ahok memang selalu menghadapi sejumlah kendala hingga kontroversi. Tapi saat terjadi sejumlah kontroversi, seperti banjir dan kasus korupsi, cara media memotretnya berbeda jika dibandingkan pemerintahan era sebelumnya.

Saya mengambil sebuah penelitian singkat. Saya membuka mesin pencarian untuk mengetik kata "banjir Jakarta 2007" dan "banjir Jakarta 2015". Ada hal unik yang saya dapati. Pada 2007, yang mana saat Jakarta masih dipimpin Fauzi Bowo, isu banjir mayoritas dipotret dari kacamata kritikus. Mayoritas artikel berita yang saya dapati adalah suara DPRD atau pengamat yang mengkritisi Foke.

Sebaliknya, perilaku media berubah pada 2015. Isunya masih sama seputar banjir. Tapi cara media mengemas isu ini lebih dari kacamata positif, yakni mayoritas suara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Di media pencarian, saya mendapati lebih banyak artikel tentang komentar Ahok seputar banjir, ketimbang dari kritikus.

Gerakan di media sosial lebih masif lagi. Foke soal banjir diserang. Sedangkan saat Ahok, settingan para buzzer ini defensif membela.

Pun halnya dalam kasus korupsi Transjakarta dan reklamasi. Nada pemberitaan dalam mengemas kasus ini jauh berbanding terbalik dengan cara media memotret kasus korupsi di daerah selain DKI.

Media seperti begitu berhati-hati dalam menganalisis peran eksekutif di balik kasus korupsi di Jakarta pada era Jokowi hingga Ahok. Ini berbeda dengan kasus di daerah lain. Bila ada DPRD yang terjerat korupsi, otomatis media langsung mengarahkan atau menganalisis pemberitaan soal peran eksekutif.

Pada akhirnya, citra memang tergantung cara media memotretnya. Citra bisa baik dengan pendekatan media yang positif. Pun sebaliknya. Jadilah citra Ahok terlihat tegas, jujur, dan bersih.

Harus diakui gerakan yang dibangun untuk mencitrakan sosok Ahok di sosial media awalnya berjalan sukses. Ibarat menyapu di dalam rumah, sampah dipinggirkan untuk mengesankan semua telah bersih sempurna. Bukan justru sampah dibuang agar benar-benar bersih.

Namun, semua mulai terkuak ketika kasus reklamasi terbongkar pada Kamis 31 Maret 2016. Ternyata ada beberapa orang di belakang layar yang selama ini berkerja.

Semua tabir terungkap setelah publik mengetahui ada sosok bernama Sunny Tanuwidjaja. Siapakah Sunny itu? Dialah konsultan politik yang sejak 2012 selalu menempel Ahok. Dialah orang kepercayaan sang gubernur yang selalu mangkal di kantor Ahok di Balai Kota.

Terungkap pula bahwa selama ini Sunny yang aktif dalam menghubungkan Ahok dengan pengusaha kakap. Kita pun sudah tahu sepak terjang pengusaha kakap itu selama ini.

"Saya mengatur pertemuan dengan berbagai macam pengusaha kok. Bukan ngatur loh ya, Pak Ahok bilang, saya ingin ketemu dia, bisa dijadwalkan enggak? Atau pengusahanya bilang, saya mau ketemu Pak Ahok dijadwalkan bisa enggak?" kata Sunny di Balai Kota DKI Jakarta, 11 April 2016.

Politikus PDIP Hendrawan Supratikno bahkan pernah menyinggung soal keberadaan lima konglomerat di belakang Ahok.

Ini adalah hal yang tak pernah terungkap buzzer atau media pemoles citra Ahok. Namun, mencuatnya kasus reklamasi membongkar semua.

Saat yang selama ini kegiatan Ahok selalu diunggah di Youtube dengan pencitraan transparansi, mengapa pertemuan dengan para pengusaha ini begitu tertutup rapat? Padahal, kita baru-baru ini menyaksikan bagaimana seorang hakim yang terjerat kasus nyatanya diakibatkan pertemuan rahasia dengan pengusaha.

Menariknya, ketika kasus reklamasi mulai menyebut namanya, Ahok langsung mengumpulkan sejumlah seleb media sosial di kediaman pribadinya. Aksi kumpul buzzer ini terjadi sebelum KPK memanggil nama Ahok sebagai saksi kasus reklamasi. Pertemuan terjadi 8 April 2016 atau delapan hari setelah M Sanusi tertangkap tangan KPK menerima suap terkait reklamasi.

Sejumlah nama buzzer itu adalah Dede Budhyarto, Teddy, Reni Fernandhes, dan Rudi Kurawa. Hingga detik ini nama-nama itu masih terus berkicau di media sosial dengan posisi pengangkat citra Ahok dan penghancur lawan politiknya.

Memang, tak dimungkiri setiap orang yang terlibat dalam dunia politik butuh sosok selebritas dunia maya yang punya kemampuan untuk menyetir arus informasi di sosial media. Sebab, di media sosial pemimpin yang baik bisa dihancurkan hingga terkesan buruk. Maupun sebaliknya.

Ini bergantung pada bagaimana para buzzer bisa menjadi sumber pendengaran masyarakat yang akhirnya mampu memengaruhi preferensinya. Pun halnya media yang semestinya jadi alat pembanding yang netral. Faktanya tak semua media bebas kepentingan politik.

Walhasil, semua terpulang kepada masyarakat untuk menilai siapakah yang bisa mereka percaya di media sosial. Apakah memilih dikendalikan begitu saja oleh permainan buzzer politik?

Masyarakat boleh jadi banyak yang terbawa permainan buzzer. Tapi jangan lupa ada arus yang selama ini diam, memerhatikan dan mencatat siapa yang benar-benar memanipulasi informasi ini. Mereka pun mengetahui siapa yang coba menutup satu kasus dan mengangkat kasus lain. Inilah arus diam yang tak bisa dikendalikan buzzer.

Bagi para pengguna media sosial, cara untuk membuktikan mana sumber informasi yang pantas dipercaya bisa dilihat dari konsistensi dalam bersuara. Sebagai contoh cermati suara selebritas media sosial dalam merenspons kasus reklamasi.

Siapa mereka yang bersuara lantang di Teluk Benoa tapi diam seribu basa, atau bahkan membela reklamasi di Teluk Jakarta? Mereka ini yang layak dicurigai sebagai para aktor propaganda di sosial media.

Aktor buzzer yang bisa menyamar sebagai pegiat media, aktivis, ilmuan, bahkan artis Ibu Kota.

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip perkataan yang pernah disampaikan Vladimir Lenin. Kebohongan yang dikatakan secara terus-menerus lama-lama akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Ini selaras dengan ungkapan Sayidina Ali bin Abi Thalib. “Kebenaran yang tidak teratur akan kalah dengan kebatilan yang terencana.”

 

*Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement