Kamis 09 Feb 2017 08:34 WIB

Ahok, Pemilukada, dan Selebritas Media Sosial

 Baliho tiga pasang calon Pilkada DKI Jakarta terpasang di kawasan Tugu Tani, Jakarta, Ahad (20\11).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Baliho tiga pasang calon Pilkada DKI Jakarta terpasang di kawasan Tugu Tani, Jakarta, Ahad (20\11).

Oleh, Abdullah Sammy

Dalam buku The Social Media Bible dijelaskan mengenai apa itu sosial media. "Sosial media adalah media manusia bersosialisasi di dunia tanpa sekat."

Begitu penjelasan singkat dalam buku yang ditulis Lon Safko. Salah satu tujuan utama sosialisasi itu adalah transfer ide. Ada unsur memengaruhi baik faktor kepentingan bisnis, ideologi, maupun politik.

Proses sosialisasi yang berlangsung di dunia maya itu punya karakter unik. Sebab, mayoritas pengguna media sosial berada di posisi pendengar atau pengikut (followers). "Cara umum sosial media bekerja adalah mendengar terlebih dahulu, memahami konteks pembicaraaan, barulah mereka (pengguna) berbicara (bersikap) di akhir," begitu penjelasan Social Media Bible.

Fase (1) mendengar, (2) memahami, (3) bersikap ini menjadi kunci dari setiap gerakan yang muncul di sosial media.

FASE 1 (pertama) adalah mendengar. Lantas siapa yang didengar masyarakat di sosial media?

Biasanya sumber suara yang didengar adalah orang yang punya pengaruh. Istilah kerennya disebut 'selebritas' media sosial.Selebritas inilah yang menjadi buzzer untuk membela kelompok atau kepentingannya. Selebritas media sosial ini kerap menyamar dengan baju aktivis atau pegiat media.

Mereka ada yang memakai akun asli. Tapi tak sedikit pula yang memakai akun-akun palsu seperti kita mengenal Triomacan 2000. Mereka menggunakan metodologi 'ternak akun' demi mengesankan pula bahwa pandangan si buzzer atau selebritas mewakili perasaan arus utama.

Hingga akhirnya bisa membuat followers mudah dipengaruhi akibat propaganda trending yang mereka ciptakan. Padahal, trending itu hanya hanya hasil rekayasa ternak akun.

Uniknya, mengenai selebritas media sosial juga bukan sekadar harfiah melainkan juga berarti leksikon. Sebab, dalam perkembangannya, selebritas seperti artis dan musisi, juga digunakan di di sejumlah negara sebagai alat buzzer politik.

Setelah mendengar, FASE 2 (kedua) adalah proses pemahaman. Dalam proses ini, masyarakat yang memperoleh setiap informasi di media sosial mulai melakukan verifikasi. Biasanya dengan membandingkan informasi di media sosial dengan berita di media konvensional. Bisa pula proses pemahaman ini datang lewat pengalaman empiris atau sekadar emosional.

Celakanya, bukan rahasia lagi bahwa beberapa media di Indonesia punya kepentingan politik dari para pemilik. Tak bisa dimungkiri bahwa ada bisnis kepentingan di sana. Sehingga terkadang, sengaja atau tidak, ada gerakan media yang sejalan dengan framming para buzzer.

Saya juga ingin mengutip pandangan ahli geopolitik Timur Tengah Dr Christof Lehmann dalam artikel "The Arab Spring story in a nutshell: Fake springs, post-modern coup d’etat" yang dimuat Global Reasearch. Pandangan Lehmann mengacu pada kecenderungan media masuk dalam pusaran besar propaganda politik di media sosial.

Dia mengambil sampel kasus Arab Spring 2011. Menurut dia, media menjadi bagian permainan besar yang melibatkan kekuatan modal dan beking politik tertentu.

"Narasi gerakan yang mereka bangun (di media sosial) persuasif dan menipu. Mereka secara khusus menggunakan pemikir progresif, media, dan aktivis untuk mendorong gerakan (di media sosial)," kata Lehmann.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement