REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman mengaku tidak hati-hati saat menerima bungkusan berisi uang dari rekannya, pemilik CV Semesta Berjaya sehingga ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
"Seharusnya saya menanyakan atau memeriksa isi dari bungkusan tersebut, sehingga kalau saya mengetahui bahwa isinya adalah uang, tentu akan saya tolak dan mengembalikannya kepada yang bersangkutan. Tapi di situlah ketidakhati-hatian atau kekhilafan saya," kata Irman saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (8/2).
Dalam perkara ini dituntut 7 tahun penjara ditambah dendan Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun, setelah menjalani pidana pokok karena dinilai terbukti menerima Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy dan Memi, sehingga mendapat alokasi pembelian gula di Sumatera Barat.
"Kondisi kelelahan fisik dan psikis yang menyebabkan ketidakhati-hatian itu. Belakangan saya sadari, juga disebabkan oleh situasi dan tekanan yang harus saya hadapi secara terus-menerus sejak lebih dari enam bulan sebelumnya, sehubungan dengan terjadinya 'kekisruhan internal' dalam lembaga DPD," ujarnya.
Menurut Irman, bungkusan atau oleh-oleh yang dibawa Memi, baru ia ketahui isinya setelah petugas KPK masuk ke rumahnya pada 16 September 2016. Setelah petugas KPK meminta bungkusan, Memi tetap mengatakan hanya memberikan "oleh-oleh" sehingga Irman menyurush istrinya mengambil bungkusan tersebut.
"Setelah diambil oleh istri saya, kemudian menyerahkannya kepada petugas KPK di ruang tamu, barulah saya tahu bahwa isi bungkusan tersebut adalah uang. Namun demikian, saya melalui tim Penasihat Hukum, telah melaporkan pemberian uang tersebut sebagai gratifikasi kepada KPK, dan fakta tersebut sudah terungkap di persidangan ini," jelasnya.
Selanjutnya terkait dengan tuntutan bahwa Irman telah melakukan penyalahgunaan wewenang atau memanfaatkan pengaruh sebagai anggota atau pimpinan DPD, menurut Irman, ia selaku pimpinan DPD tidak memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan semua anggota DPD.
"Peran pimpinan DPD hanyalah sebagai 'speaker' atau juru bicara DPD, sebagai 'primus interpares' saja, yang hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Apa yang saya lakukan dengan menelepon Direktur Utama Perum Bulog adalah dalam rangka menindaklanjuti aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah pemilihan Sumbar yang saya wakili, tujuannya untuk menurunkan dan menstabilkan harga gula sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok rakyat," jelas Irman lagi.
Ia mengaku menelepon Djarot tanpa ada usaha menggunakan kewenangan ataupun pengaruh yang dapat membuat Bulog melakukan kebijakan yang menyimpang.
Namun, Irman mengakui ada pertemuan dengan Memi pada 21 Juli 2016 yang membicarakan kerja sama usaha, tapi rencana itu tidak jadi dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan Memi.
"Tidak ada niat saya untuk menyalahgunakan kewenangan yang sesungguhnya tidak ada, memanfaatkan pengaruh, atau melalaikan kewajiban saya selaku anggota maupun pimpinan DPD, dalam kejadian tersebut. Juga tidak ada niat jahat saya untuk merugikan negara, masyarakat dan bangsa. Justru yang saya lakukan adalah berusaha untuk mengurangi beban masyarakat, menstabilkan harga gula," jelasnya lagi.
Irman juga mengaku terkejut, sangat terpukul dan sedih dengan tuntutan 7 tahun penjara.
"Saya merasakan tuntutan tersebut terlalu tinggi dan sangat berat. Tetapi apapun keadaannya, semuanya sudah terjadi. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya sangat menyesali kejadian tersebut, ketidak hati-hatian saya, sehingga saat ini saya harus mengalami kenyataan paling pahit dan berat sepanjang hidup saya, yaitu menjadi terdakwa dan dituntut dalam persidangan ini," ungkap Irman.