Jumat 27 Jan 2017 04:01 WIB

Penyuap Patrialis Akbar Pernah Diperiksa KPK

  Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kiri) berbincang bersama Basaria Pandjaitan (kanan) saat memberikan keterangan pers terkait OTT yang melibatkan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar di Jakarta, Kamis (26/1).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kiri) berbincang bersama Basaria Pandjaitan (kanan) saat memberikan keterangan pers terkait OTT yang melibatkan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar di Jakarta, Kamis (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan Basuki Hariman (BHR) pemberi suap kepada hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (PAK) pernah diperiksa oleh KPK terkait dengan impor daging sapi.

"Tolong jangan main lagi dengan komoditas-komoditas penting, sudah diperingatkan bahkan sudah pernah diperiksa kok malah melakukan hal seperti," kata Syarif saat konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (27/1).

Ia menyatakan BHR memiliki 20 perusahaan impor daging sapi. "Namun, apakah atas nama sendiri atau yang lain sedang kami teliti," katanya.

Ada juga kemungkinan untuk menuntut perusahaannya. "Terbuka kemungkinan untuk kami melakukan tanggung jawab pidana korporasi. Contohnya korporasinya masih ada dan dia mengulangi lagi perbuatannya yang kami kategorikan korup, ini yang jadi perhatian KPK agar tidak terjadi lagi," ucap Syarif.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitain mengungkapkan kronologi penangkapan yang dilakukan KPK terkait dugaan suap terhadap hakim Mahkamah Konstitusi PAK. "Dugaan suap itu terkait dengan judicial review Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," kata Basaria.

Basaria menuturkan, setelah ada laporan dari masyarakat akan terjadi suatu tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara kemudian tim KPK ditugaskan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Penangkapan itu dilakukan oleh tim KPK.

Sebanyak 11 orang diamankan dalam penangkapan ada Rabu (25/1) sekitar pukul 10.00 sampai 21.30 WIB di tiga lokasi yang berbeda-beda di Jakarta. "Sebelas orang itu Patrialis Akbar (PAK) hakim MK, Basuki Hariman (BHR) pihak swasta yang memberikan suap bersama-sama dengan NG Fenny (NGF) yang merupakan karyawan BHR, Kamaludin (KM) dari swasta yang menjadi perantara BHR dari swasta kepada PAK, dan tujuh orang lain," ucap Basaria.

Basaria mengatakan, pada Rabu (25/1) KPK mengamankan KM di Lapangan Golf Rawamangun Jakarta Timur. Kemudian tim bergerak ke kantor BHR di Sunter Jakarta Utara dan mengamankan BHR beserta sekretarisnya dan 6 karwayan lainnya. "BHR ini punya sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging, tetapi tidak disebutkan satu per satu di sini. Lalu sekitar pukul 21.30 WIB tim bergerak mengamankan PAK. Yang bersangkutan pada saat jam itu berada di pusat perbelanjaan Grand Indonesia Jakarta Pusat bersama dengan seorang wanita," tuturnya.

Diduga, kata Basaria, BHR memberikan janji kepada PAK terkait permohonan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 dalam rangka pengurusan perkara dimaksud. "BHR dan NGF melakukan pendekatan kepada PAK melalui KM agar bisnis impor daging dapat lebih lancar. Setelah melakukan pembicaraan, PAK menyanggupi membantu agar permohonan uji materi Nomor 129/PUU-XII/2015 itu dapat dikabulkan MK," kata Basaria.

Basaria menjelaskan PAK diduga menerima hadiah 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura. Dalam kegiatan ini tim KPK telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, vocer pembelian mata uang asing, dan draft perkara nomor 129 tersebut.

"Setelah mengamankan 11 orang, KPK melakukan pemeriksaan 1x24 jam dan KPK meningkatkan status ke penyidikan dengan penetapan empat orang tersangka," ucap Basaria.

Tersangka PAK dan KM diduga penerima disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Kemudian BHR dan NGF diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu  KUHP. Pasal itu menyebut orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.

"Sementara untuk tujuh orang lainnya yang turut diamankan saat OTT, masih berstatus sebagai saksi," kata Basaria.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement