Kamis 26 Jan 2017 16:48 WIB

Mahfud MD: Indonesia Lahir dari Hasil Voting

Mahfud MD
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, negara Indonesia lahir dari hasil voting atau suara terbanyak pada masa awal berdiri. "Pada awal Indonesia berdiri, Ir Soekarno dan Moh Hatta berdebat mengenai bentuk negara Indonesia," kata Mahfud MD pada kuliah tamu bertema "Etika Penyelenggara Negara Dalam Perspektif Filsafat Hukum Tata Negara" di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Kamis (26/1).

Bung Hatta menginginkan negara Indonesia berbentuk federal dengan kekuasaan terbagi-bagi, tetapi Bung Karno ingin sebuah bentuk negara kesatuan atau republik. Maka, akhirnya, dilakukan voting oleh para tokoh negara saat itu sehingga diputuskan bentuk republik dan akhirnya kedua Bapak Bangsa itu berusaha keras mewujudkan kesatuan.

Mahfud mengatakan, Indonesia sebagai negara republik berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD), sudah tepat. Namun, dinamika politik terus menggoyahkan kekuatan negara dan pemerintah sehingga dampaknya lahir ketimpangan serta ketidakadilan.

Menurut dia, negara kesatuan yang berkonsep demokrasi sebenarnya tidak ada masalah, selama konstitusi tetap menjamin dua hal, yakni perlindungan hak-hak warga negara dan sistem pembagian hak kekuasaan untuk membatasi wewenang. Tetapi, kata dia, negara yang menganut demokrasi belum tentu lebih baik dari yang tidak menganut demokrasi, begitu pula dengan negara memiliki konstitusi belum tentu lebih baik dari negara tidak memiliki konstitusi.

Menurut Mahfud, baik tidaknya negara itu juga ditentukan oleh etika para penyelenggara negara yang memegang dan mengendalikan kekuasaan. Sebab, langkah dalam menyelenggarakan pemerintahan sudah tertuang dalam UUD 1945.

Dikatakannya, bila lembaga dan aparatur pemerintahan tidak memiliki etika akan menyebabkan inkonsistensi implementasi (tidak sesuainya pelaksanaan) amanat undang-undang. Mahfud mencontohkan, ada pejabat terjerat kasus korupsi dan menjadi sorotan publik, tetapi dia tidak mengundurkan diri, maka pejabat tersebut tidak memiliki etika. "Dalam pemikirannya dia tidak perlu mundur sebab belum dibuktikan secara hukum bahwa dia melakukan korupsi, di sini letak rusaknya negara," ujarnya.

Padahal, menurut dia, dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2000 sudah jelas apabila seorang pejabat mendapatkan sorotan publik karena kebijakannya atau perilakunya, maka yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya, tidak perlu menunggu proses hukum. "Imbas dari buruknya etika pejabat adalah ketidakadilan dan kesenjangan sosial, kemudian efeknya memunculkan intoleransi dalam kehidupan bernegara," ujar Mahfud.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement