REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Ribuan nelayan di Kabupaten Indramayu yang masih menggunakan alat tangkap yang dilarang pemerintah, bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya, penerapan kebijakan soal alat tangkap yang semula akan dimulai awal Januari 2017, diperpanjang hingga enam bulan ke depan.
"Rencananya seperti itu. (Tapi belum diumumkan oleh Menteri Susi), baru informasi dari jajaran eselon satu dan duanya (di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan)," kata anggota Komisi IV DPR RI, Ono Surono kepada Republika, Senin (2/1).
Ketua KUD Mina Bahari Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Royani menyatakan, berterima kasih pada pemerintah dengan adanya perpanjangan masa pemberlakuan kebijakan soal alat tangkap tersebut. Namun, dia mengaku, para nelayan di daerahnya tetap merasa bingung harus mencari dana kemana guna penggantian alat tangkap tersebut. "Harusnya negara yang memberikan," tutur Royani.
Di Desa Eretan Kulon terdapat sekitar 450 kapal berukuran antara 10 – 28 GT. Kapal-kapal itu dilengkapi dengan alat tangkap berupa dogol/cantrang. Berdasarkan Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets), dogol/cantrang masuk kategori alat tangkap tak ramah lingkungan yang dilarang pemerintah.
Namun, berdasarkan Surat Edaran Nomor: 72/MEN-KP/II/2016 tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), nelayan masih diberi kesempatan menggunakan alat itu hingga akhir Desember 2016.
Royani menyatakan, berdasarkan informasi yang diterimanya, kebijakan larangan penggunaan alat tangkap yang tak ramah lingkungan akan diperpanjang hingga Juni 2017. Hal itu memberi kesempatan bagi nelayan di daerahnya untuk mengganti alat tangkap mereka. "Tapi, tak tahu uangnya dari mana untuk mengganti alat tangkap baru," keluh Royani.
Kata dia, untuk mengganti alat tangkap, dibutuhkan biaya sekitar Rp 450 juta per kapal. Selain untuk membeli alat tangkap, dibutuhkan pula biaya untuk merehab kapal agar sesuai dengan alat tangkap baru yang akan digunakan.
Ketika disinggung mengenai perbankan, Royani pesimis para nelayan bisa memperoleh bantuan kredit dari bank. Pasalnya, para nelayan belum tentu akan langsung efektif memperoleh hasil tangkapan setelah berganti alat tangkap.
Di sisi lain, Ono mengapresiasi, jika kebijakan alat tangkap itu benar-benar direalisasikan. Alasannya, pertama, program pemerintah untuk mengganti alat tangkap bagi nelayan dengan kapal 10 GT kebawah belum siap.
"Untuk program pengantian alat tangkap untuk 10 GT ke bawah pada 2016 hanya untuk 4.000 unit, sedangkan jumlah nelayannya mencapai 34 ribu,’’ kata wakil rakyat dapil Indramayu-Cirebon itu.
Kedua, program pembiayan dari perbankan untuk nelayan 10 GT ke atas juga belum siap. Gerai Permodalan yang diinisiasi pemerintah dan BRI baru sekedar sosialisasi. Selain itu, skim kreditnya pun reguler dan bukan skim kredit khusus alat tangkap sehingga nelayan akan tetap mengalami kesulitan untuk mengganti alat tangkap.
Ketiga, diperlukan juga program pelatihan kepada nelayan untuk menguasai teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan.
Ono berharap, waktu enam bulan ke depan membuat pemerintah bisa mempersiapkan ketiga program tersebut. Dia pun meminta agar Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) tetap memberikan berbagai izin berlayar kepada nelayan, seperti SIPI, SLO dan SPB, sampai dengan batas waktu penerapan kebijakan alat tangkap tersebut.