REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Rajungan kini benar-benar menjepit para nelayan tradisional. Terhambatnya ekspor telah membuat harga komoditas tersebut anjlok di tengah pasaran lokal. Dalam kondisi normal, harga rajungan di kisaran Rp 140 ribu per kilogram.
Dari nelayan, komoditas tersebut kebanyakan ditampung oleh pengepul, untuk selanjutnya dikirim ke pabrik untuk diekspor. Namun pascalebaran Idul Fitri, harga rajungan tiba-tiba anjlok.
Seperti di wilayah Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, harganya mencapai titik nadir, di kisaran Rp 40 ribu per kilogram. Sedangkan rajungan hasil sortir dengan ukuran yang besar, dihargai Rp 60 ribu per kilogram.
Ketua TPI Sukahaji, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Thamrin, mengatakan, anjloknya harga rajungan karena terhambatnya ekspor. Biasanya, rajungan hasil tangkapan nelayan Desa Sukahaji dan Desa Bugel, Kecamatan Patrol, diekspor ke Amerika dan beberapa negara di Eropa.
Proses ekspor itu dilakukan melalui pengepul/agen, yang diteruskan ke pabrik. Namun sejak bulan lalu, ekspor ke luar negeri terhenti. Para eksportir akhirnya tak lagi menerima pasokan rajungan dari nelayan.
Sementara di sisi lain, produksi rajungan hasil tangkapan nelayan sedang tinggi hingga stok pun melimpah. Rajungan akhirnya dilempar ke pasaran lokal meski dengan harga yang tak sesuai harapan.
"Permintaan dari pasaran lokal memang naik, tapi tidak sebanyak untuk ekspor," kata Thamrin, Kamis (30/6).
Thamrin mengaku, belum mengetahui penyebab ekspor rajungan kini terhenti. Namun yang pasti, kondisi itu membuat nelayan rajungan terpuruk.
Tak sedikit nelayan rajungan yang akhirnya memilih tidak melaut karena hasil yang diperoleh tak sebanding dengan biaya operasional. Meski ada pula yang tetap melaut karena terdesak kebutuhan perut, walau dengan hasil yang pas-pasan.
Sekretaris Jendral Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dan Koordinator Forum Komunikasi KUB Nelayan Rajungan Jawa Barat, Budi Laksana, mengungkapkan, anjloknya harga rajungan tidak hanya di Jawa Barat. Namun, juga terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
"Dengan kondisi ini, banyak nelayan rajungan yang akhirnya memilih tidak melaut," kata Budi, kepada Republika, Kamis (30/6).
Budi menyebutkan, perkiraaan jumlah nelayan rajungan di Jawa Barat mencapai 19.515 orang. Yakni, terdiri dari nelayan jaring 12.962 orang dan nelayan bubu 6.553 orang. Total jumlah nelayan rajungan itu tersebar di sejumlah wilayah. Yaitu, Bekasi 1.138 orang, Karawang 4.201 orang, Indramayu 3.431 orang dan Cirebon 10.475 orang.
Setiap nelayan rajungan selaku pemilik kapal, memiliki anak buah kapal (ABK). Jika rata-rata satu kapal berisi lima ABK dan dikalikan dengan 19.515 kapal/nelayan pemilik kapal, maka ada sekitar 97.575 orang nelayan rajungan yang terdampak akibat rendahnya harga rajungan.
"Belum lagi dampak yang dialami tempat pengelolaan rajungan, yang rata-rata mempekerjakan 10 - 20 perempuan pengupas rajungan," ujar Budi.
Ketika ditanyakan mengenai penyebab jatuhnya harga rajungan, Budi menjelaskan, salah satunya akibat inflasi di Amerika Serikat. Selama ini, 80 persen ekspor rajungan dikirimkan ke Amerika Serikat.
Selain itu, anjloknya harga rajungan juga terdampak perang Rusia-Ukraina. "Kita juga lagi selidiki, apakah ada kemungkinan terhambatnya ekspor rajungan dari Indonesia itu karena ada rajungan dari negara lain yang diekspor ke sana (Amerika)?," ucap Budi.
Budi menyatakan, pemerintah perlu turun tangan mengatasi kondisi tersebut. Apalagi, rajungan merupakan penyumbang devisa terbesar sektor perikanan Indonesia, dengan nilai eksport US$ 367,5 (Rp 5,2 triliun). Pada periode hingga Oktober 2021, rajungan menempati urutan ketiga ekspor setelah udang (40 persen), tuna (13 persen) dan rajungan (11 persen).
"Jangan selalu menyebutkan rajungan penyumbang devisa negara, tapi saat rajungan harganya kritis, pemerintah lalai dan membiarkan," tandas Budi.