REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung, mengatakan proses suap dalam pengisian jabatan di daerah dapat melumpuhkan proses pelayanan publik. Mutasi pejabat daerah idealnya digunakan untuk meningkatkan kinerja melayani masyarakat.
Menurut Lisman, tradisi 'jual beli' jabatan saat menjelang mutasi pejabat daerah sudah lazim terjadi di sebgian besar daerah. Kondisi seperti ini dikhawatirkan menimbulkan kejenuhan pada kualitas individu yang memangku jabatan tertentu.
"Masalahnya, hampir di semua daerah, di semua tempat lazim terjadi suap pengisian jabatan. Jika hampir semua pejabat publik melakukan itu, kualitas maupun kuantitas pelayanan kepada berpotensi semakin buruk," ujar Lisman, Ahad (1/1).
Idealnya, proses mutasi dilakukan untuk menghindari kejenuhan, penyegaran atau promosi yang bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Namun, yang kini terjadi justru ketika pengumuman jadwal mutasi dilakukan, para pejabat justru bersiap memberikan sejumlah dana. Dana yang diberikan kepada kepala daerah itu bertujuan memuluskan mereka untuk menduduki jabatan yang diinginkan.
Lisman mengatakan, pemerintah semestinya mengapresiasi tindakan penangkapan kepala daerah yang terbukti terlibat kasus jual beli jabatan. Mata rantai jual beli jabatan seharusnya segera diputus untuk kembali meningkatkan kualitas pelayanan publik.
"Permulaannya ada pada pencalonan kepala daerah atau pejabat tertentu yang membutuhkan banyak modal. Jika tidak begitu, oknum pejabat akan sibuk 'membuka transaksi' agar dapat balik modal. Padahal, kewajiban utama mereka adalah bekerja untuk masyarakat," tegas Lisman. Dia menambahkan, jika tidak diputus, mata rantai akan menambah jumlah pejabat yang tidak berkualitas.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini, pada 30 Desember lalu. Sri diduga terlibat kasus dugaan suap berkaitan pengisian jabatan atau 'jual beli' jabatan. Sri yang telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap diduga menerima uang sekitar Rp 2 miliar lebih dari sejumlah pihak yang ingin menduduki jabatan di struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Kabupaten Klaten. Penangkapan Sri diawali dengan ditangkapnya seorang swasta bernama Sukarno (SKN) di kediamannya, yang kemudian mengarahkan ke rumah dinas Sri Hartini.