Rabu 28 Dec 2016 07:23 WIB

Tsunami Politik dan Hukum: Kisah Nasib Ahok di Pilkada Jakarta

Massa yang berasal dari berbagai ormas menggelar orasi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, menuntut Ahok langsung ditahan.
Foto: eko supriyadi
Massa yang berasal dari berbagai ormas menggelar orasi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, menuntut Ahok langsung ditahan.

Tsunami Politik dan Hukum: Kisah Nasib Ahok di Pilkada Jakarta

Oleh: DR  Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia

========

Selasa kemarin, 27 Desember 2016, majelis hakim baru saja  membuat putusan sela atas kasus Ahok. Pesannya jelas dan tegas. Hakim memutuskan eksepsi Ahok ditolak. Pengadilan atas terdakwa Ahok akan terus dilanjutkan hingga tuntas.

Lalu apa arti kasus hukum itu, dalam hubungan dengan posisi Ahok di pilkada Jakarta? Skenario apa yang mungkin terjadi untuk Ahok?

Paling tidak untuk menjawabnya ada tiga prinsip dasar dan kemungkinan skenarionya. Pertama,  status hukum Ahok menghalangi sementara kemungkin Ahok menjadi gubernur Jakarta kembali, walau ia menang pilkada.

Katakanlah Ahok menang pilkada,  sementara pengadilannya belum selesai ketika era pelantikan (pilkada 15 Feb 2017). Saat itu Ahok memang tetap dilantik. Tapi saat  itu juga Ahok langsung diberhentikan sementara.

Ahok tetap tak bisa menjabat gubernur selama statusnya masih terdakwa (untuk hukuman penjara yang minimal 5 tahun). Djarot yang  juga dilantik sebagai wakil gubernur terpilih, akan langsung dilantik menjabat gubernur sementara.

Selama  Ahok menjadi terdakwa dan kasus di pengadilan atasnya belum tuntas, maka selama itu pula Ahok tak bisa bekerja sebagai gubernur.

Selain itu, harap dipahami, lamanya penuntasan kasus hukum mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga sampai pengadilan tinggi, bahkan sampai tingkat kasasi ke Mahkamah Agung, umumnya akan memakan waktu bertahun-tahun. Sepanjang waktu  itu pula Ahok walaupun menang pilkada tak bisa menjabat gubernur. Djarot yang menjabat.

Kedua, status hukum Ahok menghalangi Ahok secara permanen, walau Ahok menang pilkada. Jika nanti pengadilan memutuskan  Ahok bersalah, berapapun hukumannya, maka Ahok diberhentikan secara permanen. Ini segera dilakukan jika keputusan pengadilan atas Ahok sudah mempunyai putusan yang tetap, tuntas, dan final (in kracht).

 

Ini pun menjadi semakin pasti, bila Ahok diputus bersalah, walaupun ia menang pilkada, Jakarta tetap punya gubernur baru. Akibatnya, untuk konteks ini, memilih Ahok berisiko sebenarnya memilih Djarot. Jika sudah dihukum permanen, Djarot permanen pula menjadi gubernur Jakarta yang baru.

Ketiga,  status hukum Ahok tak menghalanginya menjadi Gubernur Jakarta jika Ahok menang pilkada. Alhasil, satu-satunya harapan bagi Ahok untuk menjadi gubernur,  jika ia menang pilkada, adalah  ia dibebaskan oleh pengadilan. Hakim memutuskan Ahok bebas atau Ahok lepas dari tuntutan hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement