REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suasana perayaan Natal dan jelang Tahun Baru di Tanah Air diwarnai oleh meningkatkanya potensi ancaman keamanan. Hal ini ditandai dengan penggerebekan sejumlah markas teroris dan penemuan bom aktif oleh Densus 88.
Pengamat terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, meningkatnya potensi ancaman keamanan juga tengah menjadi tren di negara-negara dunia. Karenanya, ia meyakini pola aksi teror di Indonesia tak akan jauh berbeda dengan aksi terorisme yang sudah terjadi di negara lain.
"Jaringan teror di Indonesia ini didominasi oleh kumpulan fans dan followers, tentu saja potensi ancamannya tak akan jauh dari tren global," ujarnya, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (26/12).
Adapun sasaran utama aksi teror, menurut Fahmi, tetap mengarah pada area publik, fasilitas keamanan beserta personelnya. Sementara alat yang digunakan masih tak jauh dari bahan peledak rakitan, senjata api yang digunakan secara sporadis dan simultan.
"Tujuannya untuk menimbulkan kepanikan, keresahan dan tentu saja menunjukkan eksistensi, dimana masing-masing kelompok penggemar itu saling bersaing," kata dia.
Selain Jakarta dan kota-kota besar di sekitarnya, Fahmi mengatakan bahwa pemerintah juga perlu mewaspadai daerah Nusa Tenggara. Ini mengingat alumni Jamaah Islamiyah (JI) dan Mujahiddin Indonesia Timur atau kelompok Santoso banyak yang berasal dan berkiprah di wilayah tersebut.
Fahmi mengatakan, aksi terorisme seringkali diakibatkan oleh tidak dikelolanya pendapat atau sikap yang berbeda. Sehingga teror dipandang sebagai penyampai pesan yang efektif sekaligus sarana balas dendam atas perbuatan yang dipersepsikan zalim oleh pelaku. Oleh karenanya, ia mengingatkan pemerintah agar tak menyemai bibit-bibit ancaman kejahatan berlandaskan kebencian, seperti diskriminasi, kesenjangan sosial dan pemarjinalan.