Jumat 23 Dec 2016 18:03 WIB

KPK Tahan Dirut PT MTI Usai Diperiksa

Penyidik KPK mengeluarkan barang bukti uang dollar saat menggelar keterangan pers mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Deputi Bakamla, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Penyidik KPK mengeluarkan barang bukti uang dollar saat menggelar keterangan pers mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Deputi Bakamla, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menahan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah usai diperiksa dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

"Saya ini datang atas inisiatif sendiri, saya belum dapat surat dari KPK. Saya mau klarifikasi ternyata surat kita cek di kantor dan di rumah tidak masuk. Tapi karena niat baik saya, maka saya datang ke sini, tapi kondisinya seperti ini," kata Fahmi usai diperiksa selama sekitar 7 jam di gedung KPK Jakarta, Jumat (23/12).

Fahmi yang keluar dengan mengenakan rompi tahanan KPK warna jingga itu ditahan di rumah tahanan kelas I Jakarta Timur cabang gedung KPK yang berlokasi di 'basement' gedung KPK. Ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi.

Fahmi diketahui berada di luar negeri sejak 12 Desember 2016, dua hari sebelum Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 14 Desember 2016.

"Saya harusnya kembali ke Jakarta 29 Desember, tapi karena ada berita ini saya pulang. Harusnya saya ke sini besok. Jadi yang jelas saya bukan buron, saya sudah ada niat baik untuk klarifikasi tapi Insya Allah, Allah akan memberikan ujian terbaik untuk saya. Kita lihat skenario Allah seperti apa," tambah Fahmi.

Namun, Fahmi membantah kalau ia telah menyuap Eko Susilo Hadi untuk memenangkan proyek. "Saya tidak kenal sama pejabat itu, saya tidak tahu, saya tidak kenal," tegas Eko lantas masuk ke mobil tahanan KPK.

Kasus ini bermula dari OTT KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Edi Susilo Hadi, dan tiga orang pegawai PT Melati Technofo Indonesia Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo di dua tempat berbeda di Jakarta.

Eko diduga menerima Rp2 miliar sebagai bagian dari Rp 15 miliar "commitment fee" yaitu 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp 200 miliar. Namun, KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap sedangkan Danang hanya berstatus sebagai saksi.

Paket Pengadaan Monitoring Satelit Bakamla dengan nilai pagu paket Rp402,71 miliar sudah selesai lelang pada 9 Agustus 2016. Pemenang tender adapa PT Melati Technofo Indonesia yang terletak di Jalan Tebet Timur Dalam Raya Jakarta Selatan.

Peralatan tersebut rencananya akan ditempatkan di berbagai titik di Indonesia dan terintegrasi dengan seluruh stasiun yang dimiliki oleh Bakamla serta dapat diakses di Pusat Informasi Maritim (PIM) yang berada di kantor pusat Bakamla.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement