REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkaran Madani Indonesia (Lima Indonesia) Ray Rangkuti, menyebut, politik dinasti di Indonesia telah mencerabut hak warga untuk menikmati berbagai fasilitas publik. Pasalnya, anggaran pemerintah daerah dinikmati kroni dan keluarga pemilik dinasti politik.
Semua itu menurut Ray diperparah dengan kultur politik yang belum berubah. Ia mencontohkan, ada kepala daerah yang sudah dua kali menjabat, kemudian mencalonkan lagi, dengan menjadi wakil. Suksesi politik seperti pilkada semata saling tukar posisi untuk mempertahankan kekuasaan.
"Politik dinasti jelas menghambat regenerasi politik, sirkulasi kekuasaan. Hampir semua daerah yang mengidap politik dinasti, tidak bebas korupsi, seperti terjadi di Banten, kakak adik kena kasus korupsi," kata Ray dalam keterangannya saat diskusi Lawan Korupsi Tolak Dinasti Politik yang diselenggarakan di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Selasa (20/12).
Ray mengingatkan, politik dinasti menyuburkan praktik korupsi. Semua sumber daya ekonomi daerah, hanya dialokasikan ke saudara dan juga keluarga saja. "Tidak ada yang diuntungkan dari politik dinasti, kecuali dinastinya sendiri, rakyat tidak akan mendapat apa-apa," tegas Ray.
"Dinasti politik ini tidak ada gunanya bagi republik. Suburnya korupsi, memberi bukti, tidak akan ada pembangunan memadai kalau dinasti politik makin subur di daerah, menolak politik dinasti, sama dengan mengatakan tidak kepada korupsi," tegas dia.
Dosen Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mewanti-wanti agar publik tidak memberi ruang kembalinya politik dinasti karena terbukti hanya menyuburkan korupsi. Politik dinasti semakin berbahaya, lantaran saat ini meski dari sisi regulasi politik sudah memdai, namun dari sistem demokrasi belum ajeg dan tidak ada etika politik yang kuat. Sehingga, kata dia, dinasti politik di Indonesia selalu memiliki kecenderungan untuk korup.