REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tak ubahnya magnet yang menarik perhatian publik secara luas. Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Iman menilai, pesta demokrasi di Ibu Kota seperti “Pilpres mini” karena menyita perhatian publik, bukan hanya warga Jakarta yang memiliki hak pilih, melainkan pula warga di berbagai daerah di Tanah Air.
"Meskipun otonomi daerah telah diterapkan lebih dari satu dasawarsa, fenomena tersebut sesungguhnya dapat dipahami; lantaran Jakarta adalah Ibu kota Negara yang pada akhirnya menjadi gambaran wajah Indonesia," ujar Arif kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).
Meski begitu, kata Arif, pada akhirnya yang menentukan siapa yang bakal menjadi kepala daerah adalah pemilih Jakarta. Itulah sebabnya, papar Arif, melihat peta pemilih Jakarta merupakan cara efektif untuk melihat sejauhmana peluang masing-masing pasangan calon yang maju dalam bursa Pilkada DKI.
"Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu memiliki karakteristik pemilih yang berbeda dengan daerah lain. Di lihat dari segi pendidikan, tingkat pendapatan, ataupun komsumsi informasi, warga Ibukota bisa dipastikan lebih unggul. Derajat komsumsi informasi yang tinggi, misalnya menjadikan Pilkada paling “berisik” di republik ini," ungkap Arif.
Terlebih, kata dia, media sosial, perang opini para political buzzer untuk mempromosikan jagoannya menjadikan dunia maya tak henti sebagai media kampanye tanpa mengenal waktu. "Dengan kondisi semacam ini, pemilih Jakarta sesungguhnya merupakan lumbung suara jenis pemilih yang dalam literatur politik disebut sebagai pemilih rasional," cetusnya.
Menurut dia, pemilih rasional, merupakan kantong pemilih terbesar yang mesti menjadi titik perhatian para pasangan calon beserta tim sukses. "Meski jumlahnya sedikit kita juga tak bisa menafikkan keberadaan jenis pemilih lain, seperti jenis pemilih tradisional maupun skeptis," tuturnya. Ia menjelaskan, pemilih rasional merupakan jenis pemilih yang memiliki orientasi terhadap kebijakan dan sejauhmana kemampuan problem solving terhadap masalah yang muncul di publik.
"Pemilih demikian lebih melihat kapasitas, integritas, rekam jejak, serta program kerja kandidat sebagai basis pertimbangan dalam memberikan dukungan politik, bukan mendasarkan pada sentimen-sentimen primordial yang usang dan tidak relevan," kata Arif menjelaskan.
Pendek kata, lanjut dia, pemilih Jakarta adalah pemilih cerdas yang mempergunakan pertimbangan-pertimbangan akal sehat dalam memberikan dukungan, bukan dipengaruhi oleh isu dan informasi hoax yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Ahok vs Kontra Ahok
Arif menuturkan, kendati terdapat tiga pasangan calon kepada daerah dan wakil kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2017, tapi sejatinya di level grass-root, hanya terdapat dua kelompok pemilih yang berpunggungan. Dua kelompok tersebut, kata dia, muncul atas penilaian kinerja dari pejawat (incumbent) Basuki Tjahya Purnama atau akrap disapa Ahok yang kembali maju lagi berpasangan dengan wakilnya Djarot Saiful Hidayat yang diusung oleh PDIP, Nasdem, Hanura, dan Golkar.
"Bagi yang menilai kinerja pejawat positif tentu mendukung Ahok-Djarot, sebaliknya yang memandang negatif bakal menyalurkan aspirasinya pada pasangan lain, Agus-Silvi atau Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dua kelompok ini sebagian besar sejatinya sama-sama jenis pemilih rasional, tapi memiliki penilaian yang berseberangan terhadap kinerja dari pejawat," tegasnya.
Bandul Kemenangan
Meski demikian, papar Arif, perlu diingat juga, meski jumlahnya kecil, pemilih tradisional juga akan menjadi variabel kemenangan. Boleh jadi, lanjut dia, ini akan menjadi selisih kemenangan. Pemilih semacam ini perlu pendekatan emosional dengan intens menyapa dan memberi sentuhan psikologis. "Oleh sebab itu, boleh jadi pemilih tradisional akan menjadi bandul penentu kemenangan," ungkapnya.
Melihat kondisi ini, kata dia, belum ada satupun pihak yang berani memastikan pasangan calon yang bakal menang dalam Pilkada DKI 2017. Arif memprediksi, sangat dimungkinkan akan terjadi dua putaran lantaran Pilkada DKI mempunyai aturan berbeda, kemenangan yang diperoleh harus melampaui dukungan lima puluh persen plus.
"Hal ini sejalan sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga survey yang juga menyebutkan bahwa elektabilitas ketiga pasangan calon di bawah angka lima puluh persen, termasuk calon pasangan pejawat," kata Arif.