REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bertekad untuk terus mendorong partisipasi politik perempuan. Menurut Sekjen DPP PSI Raja Juli Antoni, hal itu dibuktikan PSI dengan menempatkan perempuan pada posisi-posisi penting partai.
"Di DPP ada 9 orang pengurus, hanya 3 yang laki-laki, dan di seluruh tingkatan struktur keterwakilan perempuan di atas 40 persen,” ujar Toni dalam serial Pojok Tanah Abang Solidarity Lecture ke-2, di basecamp DPP PSI Jakarta Pusat.
Menurut Toni, tema perempuan dalam politik tidak pernah habisnya dibahas, mengingat persoalan sudah kompleks, ditambah dengan isu-isu kontemporer. “Budaya patriarki menganggap laki-laki lebih punya privilese, tetapi kini adanya sistem kuota membuka ruang partisipasi bagi perempuan,” tuturnya dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Kamis (1/12).
Dalam diskusi tersebut, pegiat International Foundation for Electoral System (IFES) Lanny Octavia mengungkapkan, bias gender masih sangat kental. “Sudah ada kuota 30 persen perempuan, tetapi dipertanyakan kualitasnya, memangnya legislator laki-laki juga tidak korup,” cetus Lanny. Ia juga menilai demokrasi yang berkembang saat ini di Indonesia masih sebatas prosedural, belum mencapai yang substantif.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan, perjuangan untuk kuota 30 persen perempuan berjalan sejak Pemilu 1999, tetapi terdapat hambatan baik dari sisi elektoral maupun non-elektoral. “Riset Perludem menunjukkan terjadi pencomotan calon-calon perempuan oleh partai politik sekadar formalitas, bukan lewat kaderisasi yang baik,” tegas Titi.
Menurut dia, dalam pasar bebas kampanye, perempuan dibiarkan berkompetisi tanpa ada intervensi maupun asistensi, tengara. Selain belum lepas dari patriarki, papar Titi, ada pula keterputusan antara gerakan perempuan dengan legislator perempuan. "Tidak lagi dikawal dalam formulasi kebijakan politik,” kata Titi terkait hambatan non-elektoral dalam partisipasi politik perempuan.
Contoh menyedihkan, tutur Titi, dalam kasus Pilkada Bone Bolango. Menurut dia, calon perempuan dari jalur perseorang mengundurkan diri karena tidak mendapat izin dari suami, meskipun ada faktor kuat terkait kekerabatan politik. Titi mengusulkan, untuk memperbaiki sistem pemilu, perlunya pencalonan secara bottom up, perbaikan desain surat suara, dan subsidi biaya kampanye oleh Negara.
Setelah berhasil lolos dalam proses verifikasi Kemenkumham, saat ini PSI juga tengah menyorot pembahasan RUU Pemilu di DPR. Titi Anggraini menyatakan, kompetisi tetap penting agar perempuan dapat belajar politik dengan perempuan, tetapi perlu ada rekayasa pemilu dengan menerapkan reserved seats bagi perempuan.
Titi juga mengkritik RUU Pemilu yang menghambat partai-partai baru untuk mengajukan calon presiden. “Bisa saja PSI mengusung capres perempuan, banyak calon tidak masalah, nanti ada seleksi pada putaran kedua,” ungkap Titi.